Sukses

AS Mengaku Yakin Akan Keberhasilan Pertemuan Donald Trump dan Kim Jong-un

Menlu AS menyebut rencana pertemuan antara pemimpin kedua negara telah berjalan ke arah yang benar.

Liputan6.com, Washington DC - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo menyebut pembicaraan denuklirisasi dengan Korea Utara "bergerak ke arah yang benar".

Setelah bertemu dengan pejabat tinggi Korut di New York, Pompeo mengatakan mereka telah membuat kemajuan nyata untuk melanjutkan kembali agenda pertemuan antara Donald Trump dan Kim Jong-un.

Dikutip dari BBC, Jumat (1/6/2018), Pompeo mengatakan Jenderal Kim Yong-chol tengah bertolak menuju Washington untuk menyampaikan surat kepada Presiden Donald Trump.

Pada saat bersamaan, pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, disebut menyetujui rencana pertemuan puncak dengan Rusia.

Kabar tersebut disampaikan kantor berita resmi Korea Utara, KCNA, menyusul pertemuan antara Kim Jong-un dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Pyongyang pada Rabu, 30 Mei 2018.

Sebelumnya, Presiden Donald Trump sempat membatalkan agenda pertemuan dengan Kim Jong-un, yang dijadwalkan berlangsung di Singapura pada 12 Juni 2018.

Dalam konferensi pers Kamis, 31 Mei 2018, Pompeo mengatakan agenda pertemuan Trump-Kim adalah "Momen penting dalam hubungan kami (AS dan Korea Utara), di mana tidak akan ada yang bisa membiarkan kesempatan ini menjadi sia-sia."

Pompeo juga mengatakan agenda tersebut sebagai "kesempatan sekali dalam seumur hidup untuk mengubah jalan bagi dunia" dan mengantar "era baru perdamaian, kemakmuran dan keamanan."

Pada Rabu malam, Mike Pompeo dan Kim Yong-chol tiba secara terpisah di sebuah gedung dekat markas besar PBB di New York, Amerika Serikat.

Kim Yong-chol disebut sebagai pejabat senior Korea Utara pertama yang mengunjungi Negeri Paman Sam dalam hampir 20 tahun terakhir. Ia juga dikenal sebagai tangan kanan Kim Jong-un sejak pertama kali memerintah pada 2012.

 

Simak video pilihan berikut: 

2 dari 2 halaman

Korut Merasa Keberatan

Sementara itu, Amerika Serikat telah meminta Korea Utara untuk meninggalkan program senjata nuklirnya, tetapi Pyongyang berdalih untuk memperkuat keamanannya.

Di tengah retorika kekerasan dari para pemimpin kedua negara, laporan bahwa Korea Utara mendekati kemampuan meluncurkan rudal nuklir yang bisa mencapai AS, telah menyita perhatian Washington dalam mengurusi kebijakannya di tingkat global.

Sebagai imbalan bagi Korea Utara menghentikan pengembangan senjata nuklirnya,  AS mungkin bisa mengurangi sanksi, dan menawarkan skema bantuan baru terhadap negara komunis di Semenanjung Korea itu.

Namun, Pyongyang mengaku sangat keberatan dengan pernyataan salah seorang pejabat pemerintahan Trump, yang membandingkan denuklirisasi Korea Utara serupa dengan Libya.

Mantan pemimpin Libya, Moammar Khadafi, menyerahkan program nuklirnya untuk imbalan keringanan sanksi. Namun nahas, beberapa tahun setelahnya, ia justru meninggal di tangan pemberontak yang didukung oleh pihak Barat.