Liputan6.com, Kairo - Hosni Mubarak ikut tumbang saat gelombang musim semi atau Arab Spring menerjang Mesir. Ia yang pernah berkuasa selama 30 tahun menjelma jadi pesakitan, duduk di kursi terdakwa, atas tuduhan terlibat pembunuhan para demonstran.
Pada 2 Juni 2012, vonis seumur hidup dijatuhkan kepadanya. Saat membacakan putusannya, Hakim Ahmed Rifaat mendeskripsikan era kekuasaan Mubarak sebagai "30 tahun kegelapan" dan "mimpi buruk yang suram" -- yang berakhir ketika rakyat Mesir bangkit untuk menuntut perubahan.
"Mereka (demonstran) secara damai menuntut demokrasi dari para penguasa yang menggenggam erat kekuasaan," kata dia seperti dikutip dari situs The Guardian, Jumat (1/6/2018).
Advertisement
Baca Juga
Selama pembacaan putusan, Mubarak yang kala itu berusia 84 tahun terlihat tenang dan diam di dalam kerangkeng mirip sangkar di ruang pengadilan. Sikapnya kontras dengan putranya, Alaa yang tampak gelisah.
Hakim Rifaat, yang memimpin sidang terakhirnya sebelum pensiun mengatakan, Mubarak dan mantan Menteri Dalam Negeri Mesir Habib el-Adly sama sekali tak bertindak untuk menghentikan aksi pembunuhan terhadap para demonstran, dalam gelombang protes yang terjadi selama 18 hari. Lebih dari 850 demonstran tewas di Kairo dan kota-kota lain di Mesir.
Sidang pembacaan vonis Mubarak dihadiri massa dari dua kubu, pendukung dan penentang.Mereka yang kontra mengekspresikan kegembiraan ketika mendengar hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup untuk mantan presidennya itu. Habib el-Adly juga divonis sama beratnya.
Namun, mereka merespons dengan marah putusan untuk putra Mubarak, Alaa dan Gamal, serta enam pejabat Kementerian Dalam Negeri.
"Itu putusan yang salah. Rakyat menuntut sistem peradilan dibersihkan," demikian tuntutan massa.
Â
Â
Meski demikian, saat kabar soal vonis Mubarak sampai ke telinga para demonstran dan keluarga korban yang berada di luar pengadilan, ekspresi kegembiraan sontak diluapkan.Â
"Allah Maha Besar," kata Soha Saeed, istri salah satu dari mereka yang tewas dalam pemberontakan yang menggulingkan Mubarak pada 11 Februari 2011. "Aku sangat bahagia, sangat bahagia." Puluhan demonstran anti-Mubarak kemudian melompat-lompat dan melambai-lambaikan bendera Mesir.Â
Bentrok kemudian pecah antara demonstran dan pendukung Mubarak di dalam dan di luar ruang sidang, yang mencerminkan polarisasi yang mendalam di kalangan rakyat Mesir, setelah negara itu mengalami gejolak selama lebih dari setahun. Polisi antihuru-hara bersenjata juga bentrok dengan para pengunjuk rasa. Sebanyak 20 orang terluka, empat lainnya dijebloskan ke penjara pasca-insiden tersebut.Â
Menanggapi vonis Hosni Mubarak, Human Rights Watch (HRW) menyebut, pemidanaan Mubarak menjadi pesan yang kuat kepada para pemimpin masa depan Mesir: bahwa mereka tidak kebal hukum.
"Ini menjadi preseden penting. Sebab, setahun lalu, sama sekali tak terbayangkan kita bisa melihat Hosni Mubarak menjadi terdakwa di pengadilan," kata Joe Stork, wakil direktur HRW untuk Timur Tengah HRW.
Namun, pembebasan para pejabat Mesir disayangkan pihak HRW. Sebab, itu dinilai menunjukkan kegagalan untuk menyelidiki pembunuhan para pengunjuk rasa.
Selama persidangan, Mubarak ditahan dalam presidential suite di sebuah rumah sakit di pinggiran Kairo. Dokter yang merawatnya mengatakan dia dalam kondisi lemah dan kehilangan berat badan karena menolak makan.
Hosni Mubarak juga dilaporkan menderita depresi berat.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Peristiwa Bersejarah pada 2 Juni
Selain vonis untuk Mubarak, tanggal 2 Juni juga diwarnai sejumlah peristiwa bersejarah. Pada 1953, Elizabeth II dilantik menjadi Ratu Inggris. Itu adalah peristiwa pertama yang ditayangkan di televisi.
Sementara, pada 1967 , protes di Berlin Barat menentang kedatangan Shah Iran berubah menjadi kerusuhan. Benno Ohnesorg tewas di tangan parat polisi. Kematiannya mengakibatkan pendirian kelompok radikal Gerakan 2 Juni.
Dan, pada 2 Juni 1979, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi tanah kelahirannya, Polandia. Ia menjadi Paus pertama yang berkunjung ke sebuah negara komunis.
Advertisement