Sukses

PBB dan Myanmar Sepakati Proses Pemulangan Pengungsi Rohingya

Myanmar juga memberikan akses bagi PBB untuk meninjau Rakhine sebelum proses repatriasi Rohingya dimulai. Namun, berbagai organisasi HAM tetap skeptis atas perkembangan itu.

Liputan6.com, Naypydaw - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pemerintah Myanmar telah menandatangani memorandum proses pemulangan kembali (repatriasi) ratusan ribu pengungsi beretnis Rohingya yang melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine tahun lalu.

Penandatanganan memorandum itu dilaksanakan di Yangon, Rabu 6 Juni 2018, menjadikannya pakta pertama yang disepakati oleh kedua belah pihak setelah hampir satu tahun krisis kemanusiaan di Rakhine, Myanmar pecah pada Agustus 2017 lalu.

Dalam memorandum itu, kedua belah pihak berjanji untuk menciptakan kondisi repatriasi lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya secara "Kondusif, sukarela, aman, bermartabat, dan berkelanjutan". Demikian seperti dikutip dari Los Angeles Times, Kamis (7/6/2018).

Saat ini diketahui, sejumlah besar etnis Rohingya yang melarikan diri terkonsentrasi di kamp pengungsi di Cox Bazaar, Bangladesh -- yang berbatasan dengan Rakhine, Myanmar. Sementara sebagian kecil lainnya tersebar di beberapa kamp pengungsi di negara bagian lain di Myanmar, seperti di Sittwe salah satunya.

Di sisi lain, pemerintah Myanmar akan mengizinkan lembaga PBB untuk masuk ke Rakhine untuk pertama kalinya sejak Agustus 2017 --setelah selama setahun terakhir, Naypydaw melarang penyelidik PBB untuk masuk ke negara bagian itu.

Proses Bertahap

Pejabat tinggi PBB mengatakan bahwa terlalu dini untuk memulangkan seluruh pengungsi Rohingya ke Rakhine sekarang.

Namun, Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) menjelaskan, langkah Myanmar untuk akhirnya membuka akses ke Rakhine adalah sebuah perkembangan besar.

Dengan itu, UNHCR dapat melakukan penilaian awal mengenai kondisi di Rakhine dan melaporkan kembali kepada para pengungsi apakah situasi di sana aman untuk mereka untuk kembali ke tempat asal mereka secara sukarela, sesuai kehendak sendiri dan tanpa paksaan.

"Ini adalah langkah awal bagi PBB untuk melakukan sesuatu tentang krisis tersebut," kata koordinator PBB untuk urusan humaniter di Myanmar, Kurt Ostby kepada NPR.

Ostby mengatakan, belum ada tenggat waktu spesifik mengenai kapan PBB dan UNHCR dapat masuk ke Rakhine. Tetapi, ia memperkirakan bahwa misi peninjauan lokasi repatriasi akan segera dimulai.

Meski PBB dan Myanmar memiliki hubungan yang kontroversial di masa lalu dalam hal Rohingya, namun, usai penandatanganan memorandum itu, Ostby merasakan "suasana konstruktif" dan "kemauan untuk bergerak maju".

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Skeptisisme Masih Ada

Penandatanganan memorandum itu, meski menandai sebuah tonggak positif atas perkembangan krisis kemanusiaan Rohingya, tetap menuai skeptisisme dari berbagai lembaga aktivisme hak asasi manusia (HAM) internasional.

Skeptisisme itu dipicu oleh sejumlah faktor. Salah satunya, keengganan Myanmar untuk menyebut Rohingya sebagai etnis para pengungsi dalam memorandum tersebut. Burma justru menyebut para pengungsi sebagai 'orang-orang yang tercerabut dari negara bagian Rakhine'.

Hal itu menunjukkan bahwa Myanmar tetap tak mengakui aspek fundamental yang menyebabkan Rohingya mengungsi dari Rakhine yakni; isu diskriminasi etnis, dugaan persekusi, hingga tendensi genosida.

"Sungguh bagus jika memorandum itu bisa membuat PBB masuk ke wilayah yang sebelumnya dilarang oleh Myanmar. Tapi, memo itu tak merepresentasikan perubahan fundamental di sana," kata Matthew Smith dari Fortify Rights.

Kemah-kemah pengungsi Rohingya di Tombru, wilayah no man's land di perbatasan Bangladesh - Myanmar yang secara teknis membuat kedua negara saling berbagi lahan tersebut (Munir Uz Zaman/AFP PHOTO)

"Orang-orang Rohingya tahu betul. Rohingya tidak akan kembali ke tempat itu, di mana mereka justru melarikan diri demi menghindari genosida," lanjut Smith.

Kyaw Win, direktur eksekutif Burma human Rights Network juga mengutarakan skeptisisme dan kekhawatiran serupa.

"Bagaimana Myanmar menjamin para pengungsi jika sekiranya kembali, mereka tidak akan menghadapi persekusi?" kata Kyaw Win kepada Associated Press.

"Pemerintah Myanmar seenaknya menandatangani kesepakatan semacam itu, tapi mereka tidak pernah berkomitmen," tambahnya.

3 dari 3 halaman

Pemulihan Menyeluruh Bagi Etnis Rohingya

Lebih lanjut, Matthew Smith dari Fortify Rights mengatakan, "Jika Myanmar benar-benar berkomitmen ingin memulangkan para pengungsi mereka harus mulai dengan menutup kamp-kamp konsentrasi dan penahanan paksa bagi etnis Rohingya yang --dilaporkan-- ada di Rakhine."

Smith menambahkan bahwa pemerintah Myanmar juga harus mendukung Rohingya untuk membangun kembali kehidupan etnis itu dengan bermartabat. Myanmar juga harus memberikan status kewarganegaraan penuh bagi Rohingya dan kebijakan pembatasan aktivitas mereka dicabut.

"Tapi kenyataannya, pemerintah Myanmar tidak melakukan semua itu," kata Smith.

Banyak orang Rohingya mengatakan, langkah Myanmar untuk hanya mengizinkan mereka pulang ke Rakhine tidaklah cukup.

Mereka berpendapat bahwa pemerintah harus memberikan keadilan hukum bagi etnis Rohingya yang menjadi korban militer Myanmar --termasuk sejumlah besar perempuan yang diperkosa-- dan menyajikan rencana untuk memulihkan desa-desa yang rusak serta merehabilitasi orang-orang yang selamat.

Etnis Muslim Rohingya, yang baru saja melintas perbatasan Myanmar menuju Bangladesh, sedang menunggu giliran menerima bantuan makanan dekat kamp pengungsi Balukhali (AP)

"Kami menyaksikan orang-orang kami terbunuh, properti saya dijarah dan toko dibakar. Kami tidak punya apa-apa lagi di sana," kata Katayatullah, seorang penjual pakaian berusia 43 tahun dari Bolibazar di distrik Maungdaw, seperti dikutip dari Los Angeles Times.

"Aku akan kembali jika pasukan keamanan tidak membunuh kita, dan jika kerugian kita dikompensasi."

Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi secara konsisten membantah tuduhan tentang kekejaman dan diskriminasi yang meluas dan sistematis yang dilakukan oleh pemerintah Burma, sebagaimana laporan PBB dan komunitas internasional.

Akan tetapi pada kenyataanya, Myanmar sampai saat ini tak menunjukkan iktikad baik demi membuktikan bahwa tuduhan-tuduhan itu keliru.

Misalnya, kebijakan undang-undang kewarganegaraan 1982 yang mengecualikan kelompok Rohingya dari daftar 135 "ras nasional" yang diakui oleh negara --yang mayoritas beragama Buddha-- masih tetap langgeng di Myanmar.

Orang Rohingya, yang penduduknya diperkirakan 1,1 juta sebelum serangan Agustus 2017, tak memiliki kebebasan bergerak dan dipaksa untuk hidup di bawah sistem apartheid di Rakhine. Sebagian besar di antara mereka hidup secara terbatas pada kamp-kamp konsentrasi yang menerapkan jam malam.