Liputan6.com, Bogota - Ancaman pelecehan seksual pada anak tidak lagi berasal dari kelompok turis negara-negara maju, melainkan juga dari "predator lokal" yang memiliki peluang besar untuk berpergian akibat tren perjalanan dan teknologi murah.
Pendapat tersebut disampaikan oleh para ahli pada KTT Perlindungan Anak dalam Perjalanan dan Pariwisata di Bogota, Kolombia, beberapa waktu lalu.
Dikutip dari South China Morning Post pada Kamis (7/6/2018), predator lokal tersebut berasal dari kalangan pelancong bisnis, pekerja migran, dan turis lokal di negara-negara yang masih rentan terhadap isu kekerasan seksual dan perdagangan manusia, terutama di kawasan Amerika Latin, Afrika, dan Asia Selatan.
Advertisement
Berdasarkan laporan organisasi Buruh Internasional (ILO), para ahli menyebut sekitar 1,2 juta anak di seluruh dunia, diperkirakan menjadi korban kekerasan seksual dan ekploitasi tenaga kerja.
Baca Juga
Dijelaskan pula bahwa perjalanan wisata yang diikuti oleh pelecehan seksual pada anak, untuk saat ini, didorong oleh tarif perjalanan dan teknologi yang semakin terjangkau.
Tidak terkecuali kian masifnya penggunaan internet pada perangkat seluler, membuat para predator anak leluasa untuk menemukan targetnya dengan cara anonim.
"Monster (pelaku pelecehan seksual) saat ini tidak sama seperti lima tahun lalu, karena profilnya dapat timbul dan tenggelam dengan mudah di dunia maya," ujar Sandra Howard, wakil menteri pariwisata Kolombia.
"Semakin tinggi pertumbuhan industri pariwisata, maka semakin rentan pula risiko anak-anak dimangsa oleh predator seksual," lanjutnya menjelaskan.
Howard juga merujuk sebuah laporan yang dirilis oleh kelompok anti-perdagangan anak ECPAT, yang menyebut bahwa pelaku pelecehan seksual pada anak mengabaikan ancaman hukuman terhadap kasus pedofilia.
"Mereka yang mengeksploitasi seksual anak, cenderung berlagak oportunis, karena percaya bahwa mereka akan lolos dari tuduhan tindak kejahatan," pungkas Howard.
Simak video pilihan berikut:
Diimbau Turut Memerangi Pelecehan Seksual
Sementara itu, menurut Najat Maala M'Jid, yang memimpin gugus tugas global untuk mengakhiri eksploitasi seksual anak-anak dalam perjalanan dan pariwisata, tinggnya kasus pelecehan seksual pada anak juga didorong oleh rasa impunitas dan toleransi yang masih rendah di tengah masyarakat.
"Selama menjalani pekerjaan sekarang, saya telah mengunjungi banyak negara, dan apa yang membuat saya marah adalah bahwa ini (pelecehan seksual pada anak) terlihat normal," kata M`jid.
Untuk itu, M'jid menyarankan masyarakat di setiap destinasi wisata, mulai dari penduduk setempat, pengelola akomodasi, dan penyedia jasa pendukung lainnya untuk turut aktif membantu memerangi pelecehan seksual pada anak.
Cara termudahnya, menurut Kepala Badan Perlindungan Anak Kolombia (ICBF) Karen Abudinen, adalah dengan segera melapor kepada pihak berwenang jika menemukan tanda-tanda pelecehan seksual, kekerasan, dan perdagangan manusia.
"Orang-orang yang menutup mata terhadap anak-anak yang dieksploitasi secara seksual, sama saja mendukung perbuatan keji tersebut," tegas Abundinen.
Advertisement