Liputan6.com, Amsterdam - Dewan Keamanan PBB menyetujui sanksi hukum internasional, terhadap enam orang pemimpin sindikat penyelundupan imigran ilegal yang beroperasi di Libya.
Enam orang yang masuk daftar hitam tersebut terdiri dari empat warga negara Libya, dan dua orang asal Eritrea. Salah satu tersangka tercatat berprofesi sebagai kepala unit penjaga pantai regional.
Dikutip dari BBC pada Jumat (8/6/2018), para penyelundup telah memanfaatkan situasi tidak aman di Libya, untuk memindahkan ratusan ribu imigran gelap melalui perjalanan laut menuju Eropa.
Advertisement
PBB menyebut banyak imigran ilegal yang terjebak di pusat-pusat penampungan sementara, dan kerap mengalami tindak kekerasan dari para penyelundup manusia.
Baca Juga
Keenam pemimpin sindikat penyelundupan manusia itu dijatuhi sanksi internasional hasil persetujuan "proposal Belanda", yakni di antaranya berupa larangan perjalanan lintas negara dan pembekuan seluruh aset kekayaan.
Sanksi tersebut awalnya akan resmi dijatuhkan pada awal Mei lalu, namun tertahan karena Rusia --sebagai salah satu anggota tetap DK PBB-- berupaya memeriksa sendiri bukti-bukti kejahatan yang dilakukan oleh keenam tersangka.
Penetapan sanksi hukum tersebut merupakan yang pertama kali, di mana merupakan buntut dari laporan video CNN pada 2017, yang menunjukkan pelelangan imigran ilegal sebagai budak di Libya.
"Musim gugur tahun lalu, video tentang jual beli imigran sebagai budak, sangat mengejutkan hati nurani kami, dan Dewan Keamanan berjanji untuk mengambil tindakan tegas," kata Nikki Haley, utusan AS ke PBB.
Â
Simak video pilihan berikut:
Posisi Strategis Libya
Sementara itu, di antara enam orang yang dijatuhi sanksi internasional itu, muncul nama Ernias Ghermay, yang oleh PBB disebut sebagai "salah satu aktor penting dalam pusaran perdagangan manusia di kawasan sub-Sahara."
Lima lainnya adalah Fitiwi Abdelrazak dari Eritrea, pemimpin milisi Libya Ahmad Oumar al-Dabbashi, Musab Libya Abu-Qarin, Libya Mohammed Kachlaf, kepala brigade di Libya barat Syuhada al Nasr di Zawiya, dan pemimpin penjaga pantai Libya regional Abd al Rahman al-Milad.
Dalam beberapa tahun terakhir, Libya telah menjelma sebagai rujukan utama para imigran gelap asal Afrika, untuk menyeberang ke Eropa.
Negara itu terus mengalami kekacauan politik dan keamanan, pasca penggulingan berdarah diktator Moammar Khadafi pada 2011 silam.
Laporan dari Uni Afrika mengatakan bahwa hingga Desember lalu, tercatat antara 400.000 hingga 700.000 imigran yang tertahan di lebih dari 40 kamp di Libya, di mana cukup banyak di antaranya mendapat perlakuan tidak manusiawi.
Di saat bersamaan, Organisasi Internasional Migrasi (IMO) mencatat lebih dari 3.100 kasus imigran tewas di tengah upaya menyeberang lautan, dari Libya menuju Eropa.
Advertisement