Sukses

Ilmuwan: Biaya Ekstraksi Karbon Menjadi Sumber Energi Bisa Ditekan

Penelitian terbaru menyebut biaya ekstrasi karbon menjadi sumber energi bisa ditekan menjadi lebih ekonomis.

Liputan6.com, Washington DC - Temuan terbaru oleh kelompok ilmuwan elektro fisika pada Kamis, 7 Juni 2018, menyebut bahwa tingginya biaya ekstraksi gas rumah kaca dapat ditekan dengan teknologi baru, yang dapat membantu untuk menanggulangi perubahan iklim.

Carbon Engineering, perusahaan Kanada yang berkecimpung dalam bidang energi bersih, mengurangi rancangan dari fasilitas industri berskala besar yang dikatakan dapat mengekstraksi karbon dioksida dari atmosfir dengan biaya antara USD 94 hingga USD 232 per ton.

Dkutip dari VOA Indonesia pada Minggu (10/6/2018), biaya tersebut, menurut  American Physical Society, berada  jauh di bawah perkiraan sebelumnya, sebesar USD 600 (setara Rp 8,3 juta) per ton.

"Saya berharap menunjukkan bahwa ini adalah teknologi industri yang layak, bukan sesuatu yang ajaib … namun sesuatu yang benar-benar dapat dikerjakan," ujar David Keith, seorang profesor ilmu fisika di Harvard University, dan pendiri Carbon Engineering yang memimpin penelitian.

Hasil temuan ilmiah yang dipublikasikan di jurnal Joule itu menyebut teknologi terkait bermanfaat untuk membuat bahan bakar sintesis menggunakan udara, air, dan energi terbarukan lainnya.

Keith mengatakan fasilitas dengan skala industri dapat memproduksi bahan bakar dengan biaya satu dolar per liter. Biaya ini akan sangat kompetitif di California, dimana standar bahan bakar dengan kadar karbon rendah, harganya menjadi sangat mahal.

Ia mengatakan beberapa investor telah menunjukkan minatnya terhadap upaya teknologi pembaharuan sumber energi ini.

Sebuah fasilitas industri, yang memakan biaya ratusan juta dolar, mampu mengekstraksi satu juta ton karbon dioksida per tahun, atau setara dengan emisi 250.000 mobil.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

 

2 dari 2 halaman

Diimbau Menyebarluaskan Teknologi Baru

Sementara itu, para pakar lainnya menyambut studi ini sebagai sebuah langkah untuk menyingkirkan ketidakpastian tentang biaya "mengekstraksi udara secara langsung".

Laporan PBB mengimbau para pemimpin dunia untuk turut menyebarluaskan teknologi baru ini, sebagai upaya mengekstraksi karbon dari alam dalam pemenuhan cita-cita membatasi pemanasan global, yang disepakati di bawah Perjanjian Iklim Paris tahun 2015.

"Ekstraksi udara secara langsung adalah rute politik yang menjanjikan untuk menghlangkan karbon dioksida," ujar Oliver Geden, dari German Institute for International and Security Affairs.

Saat ini, menurut Bank Dunia, negara dengan pajak karbon tertinggi di dunia adalah Swedia, dengan nilai sekitar USD 133 (setara Rp 1,8 juta) per ton.