Liputan6.com, Hanoi - Anggota parlemen Vietnam menyetujui undang-undang soal keamanan siber (keamanan dunia maya). Keputusan ini sontak membuat para aktivis menilai bahwa hak asasi manusia untuk kebebasan berpendapat akan mati total.
Dikutip dari laman VOA Indonesia, Rabu (13/6/2018), undang-undang itu akan mengharuskan penyedia konten daring seperti Google dan Facebook untuk menghapus konten yang dianggap ofensif oleh pihak berwenang dalam kurun waktu 24 jam.
Advertisement
Baca Juga
Pemerintah juga berwenang menyimpan data pribadi pengguna di server yang berbasis di Vietnam.
Clare Agar, Direktur Operasi Global Amnesty International, mengeluarkan pernyataan keras karena disahkannya undang-undang itu Selasa, 12 Juni 2018.
"Ruang online adalah tempat berlindung nisbi dalam iklim represif yang sangat dalam di Vietnam. Di medsos orang dapat berbagi ide dan pendapat dengan lebih sedikit rasa takut akan sensor dari pihak berwenang," ujar Clare Agar.
"Dengan undang-undang baru itu sekarang berarti tidak ada tempat aman yang tersisa," kata Agar.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Blogger Vietnam Dibui 10 Tahun
Pada Juni 2017, seorang blogger terkenal asal Vietnam dinyatakan bersalah atas tuduhan pemutarbalikan suatu fakta (distorsi) mengenai kebijakan pemerintah. Tak hanya itu, ia juga dianggap memfitnah rezim komunis Vietnam melalui akun media sosial Facebook miliknya.
Dikutip dari laman The Guardian, Nguyen Ngoc Nhu Quynh dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas dakwaan yang menimpa dirinya.
Vo An Don selaku pengacara mengatakan, perempuan itu resmi dinyatakan bersalah saat menghadiri putusan akhir dalam persidangan yang dilaksanakan di Provinsi Khanh Hoa.
"Keyakinan hakim semakin kuat dengan barang bukti berupa 18 artikel di halaman Facebook milik Quynh, dan wawancara dirinya dengan media asing seperti Voice of America dan Radio Free Asia," ujar Don.
Laman blog pribadi Quynh yang berusia 37 tahun itu sangat populer di kalangan masyarakat Vietnam.
Ia menulis isu hak asasi manusia, kematian warga sipil yang disebabkan anggota kepolisian dan pelepasan bahan kimia beracun oleh pabrik milik negara asing yang membunuh ribuan ikan. Selain itu juga terkait insiden lingkungan terburuk dalam sejarah Vietnam.
Meski sudah divonis bersalah, ibu dua anak itu tetap mempertahankan pendapatnya dan tak mengakui tuduhan dari pengadilan atas tindakan kejahatannya. Quynh berpendapat bahwa ia berhak untuk mengemukakan pendapat dan bebas berekspresi.
Selaku penasihat hukum, Don mengatakan bahwa hukuman itu terlalu berat dan tak adil untuk kliennya. Setelah putusan ini, Quynh berencana untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan.
Advertisement