Liputan6.com, Washington DC - Rel kereta api membelah Alcolu, kota kecil di Clarendon County, South Carolina, Amerika Serikat. Pada masa lalu, warga kulit hitam tinggal di satu sisi, sementara lainnya dihuni penduduknya yang berkulit putih.
Pada 22 Maret 1944, dua gadis berkulit putih, Betty June Binnicker (11) dan Mary Emma Thames (8) naik sepeda. Mereka ingin mencari bunga liar.
Di tengah jalan, keduanya bertemu bocah keturunan Afrika, George Stinney yang sedang berjalan kaki dengan adiknya, Katherine. Betty dan Mary bertanya, di mana mereka bisa menemukan 'maypops', sejenis bunga. Namun, yang ditanya mengaku tak tahu.
Advertisement
Namun, kedua gadis itu tak pernah pulang. Keesokan harinya, pencarian besar-besaran dilakukan. Pagi berikutnya, jasad Betty dan Mary ditemukan selokan yang penuh dengan air berlumpur di sisi kota.
Keduanya menderita cedera kepala yang parah. Barang bukti sebuah paku kereta api juga ditemukan di sana.
Beberapa jam kemudian, polisi menangkap George Stinney dan kakaknya Johnny atas sangkaan membunuh para korban. Belakangan, Johnny dibebaskan, sementara George tetap ditahan.
George diinterogasi sejumlah petugas berkulit putih di sebuah ruangan tertutup. Ia tak didampingi penasihat hukum. Dan, tak ada satu saksi pun di luar pihak kepolisian yang menyaksikan proses pemeriksaannya.
Sekitar satu jam setelah diperiksa, Deputi Kepala Kepolisian Clarendon County, H.S. Newman mengumumkan bahwa George Stinney telah mengakui perbuatannya.
"Saya menahan seorang bocah bernama George Stinney. Ia mengakui perbuatannya dan mengatakan kepada saya di mana kami bisa menemukan besi 15 inchi (38 cm) yang ia letakkan di selokan, yang jaraknya enam kaki dari sepeda," kata Newman dalam pernyataan tertulisnya, seperti dikutip dari www.unbelievable-facts.com, Kamis (14/6/2018).
Versi polisi menyebut, George Stinney mengaku ingin 'berhubungan seks' dengan Betty June Binnicker. Namun, ia tak bisa melakukannya karena ada temannya, Mary Emma Thames.
Jadi, ia memutuskan untuk membunuh Mary. Saat itulah, kedua korban melawan. Jadi, George dilaporkan memutuskan untuk mengakhiri hidup keduanya dengan paku kereta -- yang ditemukan di dekat jasad para korban.
Sehari setelah diperiksa, George ditetapkan menjadi tersangka kasus pembunuhan tingkat pertama. Ayahnya juga dipecat dari pekerjaannya dan seluruh keluarganya harus hengkang dari perumahan yang disediakan pihak perusahaan.
Pada 24 April 1944, persidangan digelar di Clarendon County Courthouse. Ada lebih dari 1.000 orang memadati ruang sidang. Semua warga kulit putih. Tak boleh ada orang berkulit hitam di sana.
Persidangan dimulai pada pukul 14.30 siang, satu-satunya bukti yang memberatkan Stinney adalah kesaksian tiga petugas polisi yang mengatakan bahwa ia mengaku melakukan pembunuhan.
Seluruh proses persidangan berlangsung kurang dari satu hari, dan hanya butuh waktu 10 menit bagi para juri -- yang semuanya berkulit putih -- untuk memvonis terdakwa dengan hukuman mati. Eksekusi dilakukan menggunakan kursi listrik.
"Disetrum, sampai tubuh Anda meninggal dunia menurut hukum. Dan semoga Tuhan mengampuni jiwa Anda," demikian yang tertera di dokumen pengadilan South Carolina, Amerika Serikat.
Tak ada banding yang diajukan pihak keluarga. Mereka tak punya uang untuk melakukannya. Bersama pihak gereja setempat, ayah dan ibu George mengajukan permohonan pada Gubernur Olin D. Johnson untuk menghentikan eksekusi. Namun, permohonan itu ditolak mentah-mentah.
Peradilan Ulang
Dalam waktu kurang dari tiga bulan pasca-pembunuhan terjadi, George Stinney dieksekusi di Lembaga Pemasyarakatan Columbia pada 16 Juni 1944.
Ia digiring ke ruang eksekusi pada pukul 7.30 pagi. George menuju kursi listrik dengan mengepit kitab suci.
Karena tubuhnya yang kecil, tinggi 152 cm dan berat 40 kg, para petugas kesulitan mengikatnya ke kursi listrik yang dibuat untuk orang dewasa.
Para algojo mencatat, tali kekang tak cocok untuk mengikat tangannya. Pun dengan elektroda yang kedodoran untuk kakinya.
George Stinney terpaksa didudukkan di atas Alkitab agar duduk dengan pas di kursi tersebut.
Ketika listrik dialirkan, tubuh bocah itu mengejang. Seperti dikutip dari CNN, para algojo membuka topeng, mempertontonkan wajah terpidana mati ke sekitar 40 saksi, termasuk ayah kedua korban, demikian menurut James Gamble, putra Sheriff Clarendon County.
George Stinney adalah orang termuda yang dieksekusi di AS pada Abad ke-20.
Pada 2014, kasusnya kembali dibuka. Anggota keluarganya bersikukuh, George Stinney tak bersalah. Meski pun mustahil membuatnya hidup kembali, setidaknya, nama baiknya bisa dipulihkan.
Apalagi, ia punya alibi. Saudara perempuannya, Amie Ruffner, mengklaim, ia bersama George saat pembunuhan terjadi.
Pihak pengacara juga mengatakan, mantan rekan satu selnya, Wilford Hunter membuat pernyataan bahwa George Stinney membantah terlibat dalam pembunuhan. "Saya tidak melakukannya, tidak melakukannya. Mengapa mereka ingin membunuhku untuk sesuatu yang tak kulakukan," kata Hunter, mengulangi pengakuan George.
Namun, tak semua orang percaya bahwa George Stinney menjadi korban dari peradilan sesat.
James Gamble, putra Sheriff Clarendon County mengaku bahwa ia duduk di kursi belakang saat sang ayah membawa terdakwa ke penjara di Columbia.
"Tak ada keraguan bahwa ia bersalah," kata dia pada The Herald in Rock Hill pada 2003 lalu. "Dia berkata, 'aku minta maaf. Aku tak ingin membunuh mereka'."
Keponakan Betty Binnicker berpendapat sama. "Saya selalu diberi tahu bahwa George Stinney telah membunuhnya," kata Carolyn Geddings.
Membuktikan apakah George Stinney membunuh kedua korban, atau sebaliknya, mustahil dilakukan. Sebab, barang bukti kasus tersebut sudah lenyap. Dan, hampir semua saksi telah meninggal dunia.
Namun, pada 2014, hakim yang mengadili ulang kasus tersebut memutuskan untuk membatalkan vonis mati pada George Stinney. Alasannya, Pengadilan South Carolina gagal menyelenggarakan proses peradilan yang adil pada 1944.
Tak hanya eksekusi mati pada bocah 14 tahun di Amerika Serikat, sejumlah peristiwa bersejarah terjadi pada tanggal 16 Juni.
Pada 1884, roller coaster pertama di Amerika Serikat dibuka. Wahana permainan berupa kereta yang dipacu dengan kecepatan relatif tinggi pada jalur rel khusus ini dibangun di Coney Island, New York.
Selain itu di tahun 1943, Oona O'Neill gadis berusia 18 tahun yang merupakan putri penulis drama terkenal Eugene O'Neill menikah dengan Charles Chaplin yang kala itu berusia 54 tahun.
Advertisement