Liputan6.com, Naypyidaw - Lembaga pemerhati HAM, Amnesty International, dikabarkan telah mengindentifikasi 13 orang pejabat militer dan polisi Myanmar, yang memiliki peran kunci dalam kejahatan kemanusian terhadap minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.
Laporan identifikasi di atas kembali menegaskan desakan kepada Dewan Keamanan PBB untuk merujuk situasi terkait ke Pengadilan Pidana Internasional.
Dikutip dari Time.com pada Rabu (27/6/2018), Amnesty International mengklaim memiliki bukti bahwa sembilan dari 11 Kejahatan HAM yang tercantum dalam Statuta Roma, termasuk pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan, dilakukan terhadap minoritas Rohingya sejak akhir tahun lalu.
Advertisement
Laporan setebal 190 halaman itu, berdasarkan lebih dari 400 wawancara yang dilakukan selama sembilan bulan di Myanmar dan Bangladesh, menggambarkan saksi dan laporan lain tentang pembunuhan di luar hukum, perkosaan massal, perampasan sumber daya vital, dan pembakaran desa-desa Rohingya dalam "cara yang disengaja".
Ditambahkan oleh Amnesty International, masyarakat Rohingya merupakan minoritas muslim yang teraniaya dan kebanyakan tanpa kewarganegaraan dari negara bagian Rakhine di wilayah barat Myanmar, negara dengan mayoritas penganut Buddha.
Baca Juga
Setelah kelompok pemberontak yang dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan beberapa serangan terhadap pasukan keamanan negara pada 25 Agustus 2017, militer Myanmar melakukan pembalasan brutal yang menargetkan warga sipil Rohingya.
Sejak itu, lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh, mewakili sekitar 80 persen dari total populasi mereka di wilayah utara negara bagian Rakhine.
Sekitar 200.000 orang warga Rohingya tinggal di permukiman pengungsi di distrik Cox's Bazar, Bangladesh, setelah melarikan diri dari kekerasan sebelumnya. Kini, kelompok pengungsi itu memiliki perkiraan total populasi sekitar 1,1 juta orang.
Lebih lanjut, Amnesty International menuduh bahwa pelanggaran militer terjadi, baik sebelum dan sesudah serangan ARSA Agustus tahun lalu, serupa dengan "serangan brutal" yang terjadi pada Oktober 2016.
Laporan tersebut juga mengidentifikasi dua divisi tempur yang diketahui terlibat dalam pelanggaran serupa lainnya di Myanmar, yakni 33rd and 99th light infantry divisions yang dikerahkan ke negara bagian Rakhine sebelum kekerasan Agustus terjadi.
Amnesty International juga memperoleh rekaman audio tentang "konflik Agustus 2017" --diyakini otentik-- yang didapat dari panggilan telepon antara penduduk Rohingya dan seorang perwira militer setempat.
Dalam rekaman itu, petugas mengatakan, dalam bahasa Burma, "Kami mendapat perintah untuk membakar seluruh desa jika ada gangguan. Jika Anda penduduk desa tidak hidup dengan damai, kami akan menghancurkan segalanya ... Kami memulai operasi ... Jika Anda hanya diam, tidak akan ada masalah. Jika tidak, Anda semua akan berada dalam bahaya."
Â
*Pantau hasil hitung cepat atau Quick Count Pilkada 2018 untuk wilayah Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, Bali dan Sulsel. Ikuti juga Live Streaming Pilkada Serentak 9 Jam Nonstop hanya di liputan6.com.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Pemberian Akses Terbatas
Sejak tensi krisis Rohingya meningkat, pemerintah Myanmar, yang dipimpin oleh peraih Nobel Aung San Suu Kyi, membantah tudingan kejahatan HAM, termasuk memblokir hampir semua akses ke berbagai titik di negara bagian Rakhine.
Pemerintah hanya memberikan kemungkinan akses kunjungan terbatas pada diplomat, petugas kemanusiaan, dan jurnalis terverifikasi.
Sampai saat ini, tujuh tentara diketahui telah diselidiki, dan mungkin dipenjara, karena peran mereka dalam pembunuhan 10 pria Rohingya di satu desa. Tetapi, Amnesty International mengatakan semua penyelidikan yang dipimpin militer Myamnar "tidak bisa sepenuhnya dipercaya".
Laporan tentang identifikasi pejabat yang terlibat kejahatan HAM itu merupakan langkah besar untuk mengajukan rekomendasi hukum kepada PBB, ASEAN, masyarakat internasional, otoritas Myanmar, kepemimpinan ARSA, pemerintah Bangladesh, dan lembaga kemanusiaan, guna memastikan perdamaian, keadilan, dan peluang mata pencaharian yang berkelanjutan bagi warga Rohingya.
Pada hari Senin, 25 Juni 2018, Uni Eropa dan Kanada mengumumkan sanksi terhadap tujuh pejabat senior militer Myanmar, yang dituduh terlibat dalam kampanye melawan Rohingya, termasuk Mayjen Maung Maung Soe, mantan kepala Komando Barat ketika konflik terjadi.
Maung Maung Soe sempat dipindahkan ke komando lain, sebelum kemudian diberhentikan pada pekan ini karena kinerja militernya dianggap kurang, selama penangana konflik di negara bagian Rakhine. Ia juga dikabarkan terkena sanksi dari Amerika Serikat karena perannya dalam konflik.
Awal bulan ini, Myanmar menandatangani perjanjian dengan berbagai lembaga PBB, yang berjanji memastikan proses pemulangan pengungsi Rohingya berjalan sebagaimana mestinya.
Advertisement