Liputan6.com, Kuala Lumpur - Hassan al-Kontar, pria yang membuat heboh media sosial karena terdampar di bagian transit Bandara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia kembali menjadi pemberitaan.
Saat ini, dia masih terjebak di Bandara Internasional Kuala Lumpur karena dideportasi dari Uni Emirat Arab ke Malaysia pada 2016, setelah kehilangan izin kerja ketika perang saudara pecah di Suriah.
Jika ditotal, pria berusia 36 tahun itu telah menginap di bandara Malaysia selama lebih dari tiga bulan.
Advertisement
Karena keputusasaannya ini, Hassan al-Kontar mengirim sebuah email kepada Badan Penerbangan dan Antariksa (NASA). Dalam surat elektroniknya tersebut, Hassan meminta agar dapat bergabung dengan misi NASA ke Mars dan tinggal di sana, demikian dikutip dari laman Newsweek.com.
Peristiwa yang menimpa Hassan al-Kontar menuai perhatian warganet setelah ia mengunggah video. Pada video itu, dia tengah berada di Bandara Internasional Kuala Lumpur 2.
Hassan bertutur telah dideportasi dari Uni Emirat Arab ke Malaysia pada 2016, setelah ia kehilangan izin kerja ketika perang saudara pecah di Suriah.
TIME TO LEAVE.Human right, international law, organisations, governments, media, they all could not or dont want to help.Maybe it's time to try science.🤓🤓#syrian_stuck_at_airport #mystory_Hassan #airport_is_my_home pic.twitter.com/KTFMBuYkrU
— Hassan Al Kontar (@Kontar81) 3 Juni 2018
Hassan tidak bisa masuk ke Malaysia. Usahanya untuk mencapai Kamboja dan Ekuador juga sia-sia.
Sementara, pihak bandara dan imigrasi Malaysia belum berkomentar terkait isu ini.
"Saya putus asa mencari bantuan. Saya tidak bisa hidup di bandara lebih lama lagi, ketidakpastian ini membuat saya gila. Rasanya hidup saya mencapai titik terendahnya yang baru," ujar Hassan kepada BBC seperti dikutip Liputan6.com, Sabtu (30/6/2018).
Baca Juga
Pria itu mengaku, tidak memiliki peralatan mandi dan mulai kehabisan baju bersih.
"Saya terbang ke Uni Emirat Arab untuk mencari kerja tapi karena konflik, saya kehilangan keduanya, izin kerja dan pekerjaan saya di sana," tutur pemuda itu.
Oleh Uni Emirat Arab, Hassan dideportasi ke sebuah pusat penampungan di Malaysia. "Ini (Malaysia) merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia yang menawarkan visa kunjungan saat kedatangan bagi warga Suriah seperti saya."
Otoritas Malaysia pun memberikan Hassan visa turis yang berlaku selama tiga bulan. Ia sendiri berusaha mencari opsi yang lebih baik.
"Saya putuskan, saya akan mencoba pergi ke Ekuador. Jadi saya menabung cukup banyak uang untuk membeli tiket pesawat Turkish Airways. Namun karena sejumlah alasan, mereka tidak mengizinkan saya terbang dan saya pun kembali ke titik awal," terang Hassan.
Kesialannya tak berhenti sampai di situ. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, dia juga harus membayar denda karena tinggal melampau batas waktu yang ditetapkan (overstaying). Dia juga telah masuk "daftar hitam" di Malaysia.
Hassan tidak bisa keluar dari bandara dan tidak diperkenankan kembali memasuki Malaysia. Pemuda malang itu pun memutuskan untuk bepergian ke Kamboja, tapi di sana, ia juga dilarang masuk.
"Saya dianggap ilegal di Malaysia. Jadi, saya memilih terbang ke Kamboja, tapi mereka menyita paspor saya saat saya tiba."
Pejabat Kementerian Imigrasi Kamboja menuturkan warga Suriah bisa mendapat visa kunjungan saat kedatangan. Namun, mereka akan dipulangkan jika gagal memenuhi syarat.
"Kami harus memeriksa apa tujuan kunjungan mereka," kata Sok Veasna pada Phnom Penh Post.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Dikembalikan ke Malaysia
Pada 7 Maret lalu, Hassan diterbangkan kembali ke Kuala Lumpur. Sejak saat itulah ia terlunta-lunta di bandara.
"Pihak berwenang di sini mewawancarai saya dan saya juga telah mengisi sejumlah laporan," jelas Hassan. Namun ia tetap tidak yakin tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Saya tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada seorang pun yang bisa mengatakan ke mana saya bisa pergi. Saya benar-benar butuh bantuan."
Hassan mengatakan, pada awalnya, ia meninggalkan Suriah pada 2006 untuk menghindari wajib militer. Ia sempat pulang sekali pada 2008. Penolakannya untuk mengikuti wajib militer membuat ia menjadi buronan di negaranya.
"Saya seorang manusia dan saya pikir tidak benar untuk berpartisipasi di dalam perang. Itu bukan keputusan saya," tegas pria itu.
Ia menambahkan, "Saya bukan mesin pembunuh dan saya tidak ingin jadi bagian dalam menghancurkan Suriah. Saya tidak ingin tangan saya berlumur dara. Perang tidak pernah jadi solusi, tapi sayangnya, bahkan dari sini, saya harus membayar harga mahal atas keputusan itu."
Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi dalam sebuah pernyataannya mengatakan bahwa mereka "mengetahui kasus ini" dan "telah menjangkau individu dan pihak berwenang."
Advertisement