Sukses

Kamp Transit Pengungsi Rohingya di Myanmar Kosong, Proses Pemulangan Tertunda?

Sejak kamp transit di Nga Khu Ra, Rakhine, Myanmar berdiri Januari 2018, hingga kini masih kosong tanpa ada tanda-tanda pengungsi Rohingya yang menghuninya. Kenapa?

Liputan6.com, Rakhine - Kamp transit di Nga Khu Ra, negara bagian Rakhine, Myanmar siap untuk menyambut kembalinya 150 orang Rohingya yang mengungsi di Bangladesh.

Kendati demikian, sejak fasilitas itu berdiri Januari 2018, kamp tersebut kosong tanpa ada tanda-tanda pengungsi Rohingya yang menghuninya.

Fakta itu mungkin saja mengindikasikan bahwa sebagian besar pengungsi Rohingya masih takut untuk kembali ke Rakhine.

Mereka mungkin khawatir, meski telah disuguhi fasilitas berkecukupan oleh pemerintah Myanmar di Rakhine, aksi kekerasan dari kelompok etnis mayoritas dan tentara akan kembali terulang di negara bagian itu, seperti pada Agustus 2017 silam --yang menandai krisis kemanusiaan gelombang terbaru dan menyebabkan sekitar 700.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh.

"Kami telah siap untuk menerima mereka (Rohingya) sejak Januari 2018, ketika kami buka untuk pertama kali," kata Win Khaing, Direktur Imigrasi di Nga Khu Ra, Rakhine, kepada sekelompok wartawan pada Jumat 29 Juni 2018.

Win Khaing menyampaikan taklimat itu kepada sekelompok wartawan yang meninjau kamp transit tersebut, atas seizin dan di tengah pengawalan pemerintah Myanmar.

Menurut laporan AFP, seperti dikutip dari Bangkok Post (1/7/2018), para pegawai pengelola kamp transit itu terlihat lenggang-kangkung dengan sedikit atau tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan kecuali menyambut delegasi dan wartawan yang berkunjung.

Semestinya, para pegawai itu ditugaskan untuk mencatat dan mengurus dokumen para pengungsi Rohingya yang tiba dari Bangladesh. Namun kenyataannya, tidak demikian.

Pada April 2018 pemerintah Myanmar sempat membangga-banggakan soal kepulangan satu keluarga Rohingya yang terdiri dari lima orang dari Bangladesh ke Rakhine.

Tetapi, banyak pihak, termasuk Bangladesh, membantah kabar itu dan menyebutnya sebagai 'publisitas' semata. Bangladesh sendiri menyebut bahwa proses repatriasi (pemulangan kembali) pengungsi Rohingya ke Rakhine, belum terlaksana.

Dalam beberapa bulan terakhir, Myanmar juga mengatakan bahwa puluhan orang Rohingya telah dipulangkan ke Rakhine setelah menyeberang dari Bangladesh secara ilegal.

Dikatakan bahwa orang-orang Rohingya lain yang mencoba melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh dengan perahu tetapi tersapu kembali ke Rakhine, juga telah dikirim untuk tinggal bersama kerabatnya setelah diproses di kamp transit di Nga Khu Re.

Akan tetapi, Bangladesh tidak mengakui hal itu sebagai proses repatriasi yang sah.

"Proses repatriasi belum dimulai," kata komisaris pengungsi Bangladesh Mohammad Abul Kalam kepada AFP.

Ketika kedua negara saling menyalahkan satu sama lain soal tertundannya proses repatriasi, Myanmar mengatakan telah memulai apa yang mereka sebut sebagai "Proyek pembangunan besar-besaran di Rakhine utara untuk pemukiman Rohingya." Kendati demikian, organisasi internasional belum memverifikasi apakah proyek itu benar-benar terlaksana atau sudah selesai sepenuhnya.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

PBB dan Myanmar Sepakati Memorandum Repatriasi Pengungsi Rohingya

Kabar kamp kosong untuk pengungsi Rohingya itu muncul hampir sebulan setelah PBB dan pemerintah Myanmar menandatangani memorandum proses pemulangan kembali (repatriasi) ratusan ribu pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine ke Bangladesh tahun lalu.

Penandatanganan memorandum itu dilaksanakan di Yangon, Rabu 6 Juni 2018, menjadikannya pakta pertama yang disepakati oleh kedua belah pihak setelah hampir satu tahun krisis kemanusiaan di Rakhine, Myanmar pecah pada Agustus 2017 lalu.

Dalam memorandum itu, kedua belah pihak berjanji untuk menciptakan kondisi repatriasi lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya secara "Kondusif, sukarela, aman, bermartabat, dan berkelanjutan". Demikian seperti dikutip dari Los Angeles Times, Kamis 7 Juni 2018.

Saat ini diketahui, sejumlah besar etnis Rohingya yang melarikan diri terkonsentrasi di kamp pengungsi di Cox Bazaar, Bangladesh -- yang berbatasan dengan Rakhine, Myanmar.

Di sisi lain, pemerintah Myanmar akan mengizinkan lembaga PBB untuk masuk ke Rakhine untuk pertama kalinya sejak Agustus 2017 --setelah selama setahun terakhir, Naypydaw melarang petugas PBB untuk masuk ke negara bagian itu.

Pejabat tinggi PBB mengatakan bahwa terlalu dini untuk memulangkan seluruh pengungsi Rohingya ke Rakhine sekarang.

Namun, Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) menjelaskan, langkah Myanmar untuk akhirnya membuka akses ke Rakhine adalah sebuah perkembangan besar.

Dengan itu, UNHCR dapat melakukan penilaian awal mengenai kondisi di Rakhine dan melaporkan kembali kepada para pengungsi apakah situasi di sana aman untuk mereka untuk kembali ke tempat asal mereka secara sukarela, sesuai kehendak sendiri dan tanpa paksaan.

"Ini adalah langkah awal bagi PBB untuk melakukan sesuatu tentang krisis tersebut," kata koordinator PBB untuk urusan humaniter di Myanmar, Kurt Ostby kepada NPR.

Ostby mengatakan, belum ada tenggat waktu spesifik mengenai kapan PBB dan UNHCR dapat masuk ke Rakhine. Tetapi, ia memperkirakan bahwa misi peninjauan lokasi repatriasi akan segera dimulai.

Meski PBB dan Myanmar memiliki hubungan yang kontroversial di masa lalu dalam hal Rohingya, namun, usai penandatanganan memorandum itu, Ostby merasakan "suasana konstruktif" dan "kemauan untuk bergerak maju".