Sukses

Perbudakan di Laut Mengancam Buruh Nelayan Indonesia dan Asia Tenggara

Menurut hasil investigasi seroang jurnalis AS, buruh nelayan di Indonesia dan Asia Tenggara terancam oleh isu perbudakan di laut.

Liputan6.com, Jakarta - Perbudakan di laut menjadi salah satu isu krusial yang jarang terungkap ke permukaan. Menurut Shannon Service, seorang jurnalis investigasi lepas asal Amerika Serikat (AS), hal itu dikarenakan pemantauan tentang kondisi layak kerja di lingkup maritim masih rendah.

"Para buruh di industri perikanan, terutama yang ikut menjaring ikan di laut lepas, banyak yang dipersulit aksesnya untuk kembali berkomunikasi dengan rekan dan keluarga di dara. Mereka dipaksa kerja selama berbulan-bulan dengan upah yang sangat sedikit, bahkan ada yang tidak dibayar sama sekali," ujar Service ketika ditemui dalam agenda diskusi tentang isu perbudakan di laut, yang digelar oleh @america di Jakarta, Selasa (10/7/2018).

Ditambahkan oleh Service, bahwa kasus perbudakan tersebut banyak terjadi di Asia Tenggara, yang dikenal sebagai wilayah pengekspor ikan dan produk laut terbesar di dunia.

Bahkan, disebutkan pula bahwa ada warga negara Indonesia yang turut terjebak dalam pusaran perbudakan tersebut. Mereka kebanyakan berasal dari wilayah Benjinu di Maluku dan Papua Barat.

"Mereka (budak laut asal Indonesia) banyak bekerja di kapal-kapal tanpa bendera resmi, yang seringkali melakukan pencurian ikan di Segitiga Pasifik," jelas Service, sesaat setelah pemutaran cuplikan film dokumenter tentang isu perbudakan di laut, yang ia buat bersama dengan beberapa rekan pemerhati HAM lainnya.

Film dokumenter berjudul Ghost Fleet itu, diakui oleh Service, dibuat setelah ia bertemu dengan sosok wanita inspiratif asal Thailand bernama Patima pada 2012, yang mengelola lembaga swadaya untuk membantu para nelayan lepas dari perbudakan di laut.

"Dia wanita kuat, yang bekerja untuk membantu orang-orang ini (budak di laut), jadi film ini mengambil Patima sebagai sorotan utama, tentang upaya dan perjuangannya membantu para nelayan mendapatkan keadilan," kata Service.

Melalui cerita yang dihimpun Patima dari para korban perbudakan di laut, Service mendapatkan alur jaringan perdagangan manusia di perairan Asia Tenggara.

"Selain Thailand dan Indonesia, mereka juga berasal dari Kamboja dan Vietnam," katanya.

 

Simak video pilihan berikut:

 

 

2 dari 2 halaman

Wawancara dengan Susi Pudjiastuti

Selama pengambilan gambar di Indonesia, Service juga mendapat kesempatan untuk bertemu dan mewawancarai Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

"Suatu kesempatan berharga dapat mewawancarai beliau dan mengetahui upaya Indonesia untuk melawan pencurian ikan, termasuk perdagangan manusia," katanya.

Namun, Service menyesalkan bahwa wawancara tersebut tidak ditampilkan di dalam film karena keterbatasan durasi.

"Dokumenter ini hanya 90 menit, wawancara dengan Susi kami tampilkan sebagai data dengan kredit," lanjutnya menjelaskan.

Shannon Service meraih gelar master di bidang jurnalistik dari Universitas California Berkeley, dan memiliki pengalaman hampir sepuluh tahun sebagai jurnalis investigasi, yang karyanya telah ditayangkan di HBO, PBS dan FSTV.

Acara bincang-bincang dengan Shannon Service di @america dihadiri puluhan jurnalis berbagai media massa, akademisi dan mahasiswa perguruan tinggi nasional dengan berbagai latar belakang.

Jurnalis KompasTV Aiman Wicaksono dan jurnalis investigasi Majalah Tempo Philipus Perera turut menjadi pembicara dalam acara tersebut.