Liputan6.com, Houston - Hukuman berat dijatuhkan pada Sarah Marie Peters. Perempuan 25 tahun asal Houston, Amerika Serikat itu divonis 40 tahun bui. Ia dinyatakan bersalah atas tuduhan mencoba menjual putrinya yang masih balita ke pria hidung belang.
Peters menawarkan layanan seks dengan putrinya yang berusia dua tahun seharga US$ 1.200 atau sekitar Rp 16,9 juta.
Advertisement
Baca Juga
Perilaku bejat Peters terkuak oleh petugas yang sedang melakukan penyamaran di Montgomery County, Houston utara, Amerika Serikat. Seperti dikutip dari News.com.au, Sabtu (14/7/2018), detektif tersebut menjalin kontak dengan pelaku di media sosial.
Aparat keamanan mengatakan, perempuan tersebut meneruskan foto-foto gadis muda di media sosial. Peter juga bertanya, apakah ada yang ingin "bersenang-senang" dengan putrinya yang masih bau kencur.
Para penyelidik kemudian memergoki Peters naik sebuah bus di Houston menuju Conroe. Ia membawa serta putrinya. Diduga, Peters akan menemui seorang pria hidung belang yang tega berhubungan seksual dengan bocah di bawah umur, dengan membayar sejumlah uang.
Sarah Marie Peters ditahan pada 22 Februari 2018. Sementara, anaknya saat ini berada di bawah pengasuhan lembaga perlindungan anak Amerika Serikat atau Child Protective Services.
"Kejadian ini sungguh sulit dicerna akal sehat," kata Tyler Dunman, kepala biro kejahatan khusus di kantor kejaksaan distrik setempat, seperti dikutip dari Dallas News.
Ia menambahkan, tanpa upaya pihak berwenang untuk menghentikan tindakan bejat tersebut, "bocah malang tersebut akan menjadi korban dari jenis pelecehan terburuk."
Atas perbuatannya Sarah Marie Peters harus meringkuk di balik jeruji besi dalam tahanan aparat Amerika Serikat. Ia tak diizinkan bebas dengan jaminan hingga tahun 2038.
Dijadikan PSK oleh Ibu Kandung
Kisah serupa juga terjadi di Kamboja. Suatu ketika, Sephak, seorang gadis muda dibawa ke rumah sakit oleh ibunya. Bukan karena mengidap penyakit, si ibu membawa perempuan belia itu untuk menjalani pemeriksaan keperawanan.
Seusai pemeriksaan, petugas rumah sakit memberikan berkas sertifikasi medis kepada si ibu, yang menyatakan bahwa Sephak masih perawan. Selepas dari sana, bukan rumah yang dituju oleh keduanya, melainkan sebuah hotel di area yang terkenal sebagai sentra aktivitas prostitusi anak, di Svay Pak, tepi Ibu Kota Phnom Penh.
Si ibu kemudian menyerahkan anak gadisnya beserta sertifikat medis yang sebelumnya telah diperoleh ke seorang individu, untuk dijadikan objek pemuas nafsu selama tiga hari berturut-turut. Selepas itu, Sephak diserahkan kembali kepada ibunya.
Saat itu, Sephak baru berusia 13 tahun, ketika ia dijual oleh ibunya untuk menjadi penjaja seksual dalam jurang kelam prostitusi anak di Kamboja. Demikian seperti yang dilansir dari CNN, Rabu (26/7/2017).
Sephak tumbuh di Svay Pak, tepi Ibu Kota, sebuah kawasan pemukiman yang diisi oleh komunitas nelayan miskin. Sejak lama, komunitas tersebut terkenal sebagai pemasok prostitusi anak di Kamboja.
Ibu Sephak, Ann, menjelaskan bahwa keluarganya tengah mengalami masa perekonomian yang sulit. Keluarganya bahkan meminjam uang senilai US$ 6.000 kepada rentenir.
Keluarga Ann tak bisa membayar, dan di satu sisi, bunga pinjaman terus berkembang. Mereka pun diteror oleh para penagih hutang yang bekerja untuk lintah darat yang meminjamkan uang kepada Ann.
Terdesak, Ann akhirnya menerima tawaran seorang perempuan yang menjadi germo, yang bersedia memberikan US$ 800 untuk meringankan hutangnya kepada lintah darat. Fulus itu ditukarkan untuk keperawanan Sephak, anak gadis Ann yang berusia 13 tahun.
Setelah itu, Ann memaksa Sephak untuk mulai bekerja di rumah bordil. Namun kini, sang ibu mengatakan bahwa ia sangat menyesali keputusan untuk menjual putrinya.
Kini, Sephak telah dibebaskan, keluar dari masa lalu kelamnya. Pembebasan perempuan --yang kini telah dewasa-- itu diinisiasi oleh Agape International Missions (AIM), sebuah organisasi non-profit yang bergerak di ranah anti-perdagangan manusia dan prostitusi anak.
Sephak berusaha untuk menyusun kembali puing-puing kehidupannya yang dulu sempat nampak hancur, dengan bekerja dalam sebuah program pembinaan yang dikelola AIM. Bersama belasan perempuan lain yang memiliki masa lalu serupa, perempuan asal Svay Pak itu mencari nafkah di pabrik milik AIM, membuat kerajinan tangan, aksesoris, dan pakaian.
"Hari ini, saya merasa lebih stabil dari sebelumnya. Tak begitu stabil, namun cukup. Saya memiliki pekerjaan yang layak sekarang," jelas Sephak.
Don Brewster, mantan pastor yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, mendirikan AIM pada 2005. Organisasi itu memiliki misi untuk memerangi perdagangan anak --termasuk yang dieksploitasi secara seksual-- di Kamboja.
Saat ini, AIM mengklaim telah menyelamatkan sekitar 700 korban perdagangan manusia.
Â
Advertisement