Liputan6.com, Port-au-Prince - Perdana Menteri Haiti Jack Guy Lafontant, pada Sabtu 14 Juli 2018, telah mengundurkan diri setelah terjadi krisis kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak di negaranya.
Ia mengundurkan diri setelah menghadapi mosi tidak percaya dari parlemen atas kebijakannya untuk menaikkan harga solar sebesar 47 persen, bensin 38 persen, dan minyak tanah 51 persen dari harga semula.
Kebijakan itu menuai demonstrasi besar. Aksi protesnya bahkan menewaskan 7 warga, melukai belasan lainnya, dan mengakibatkan kerusuhan serta penjarahan sepanjang 6-8 Juli 2018. Demikian seperti dikutip dari Sky News, Minggu (15/7/2018).
Advertisement
Haiti merupakan salah satu negara miskin di kawasan Amerika, di mana sekitar 60 persen penduduknya hidup dengan pendapatan US$ 2 (Rp 28.760) sehari. Hal itu menyebabkan mereka sangat sensitif tentang kenaikan harga barang kebutuhan hidup.
Baca Juga
Lafontant mencanangkan kebijakan kenaikan harga BBM sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara Haiti dan Dana Moneter Internasional (IMF). Ia beralasan, kenaikan harga BBM diperlukan untuk membantu menyeimbangkan anggaran negara.
Namun, kebijakan itu menuai penolakan warga dan memicu kerusuhan berhari-hari, sepanjang 6-8 Juli 2018.
Sebelumnya, Lafontant pada Sabtu 14 Juli, dijadwalkan menyampaikan pidato penjelasan atas krisis yang melanda negaranya.
Namun, ia justru menggunakan kesempatan itu untuk mengumumkan pengunduran dirinya. Dia berkata: "Seperti yang saya katakan, saya melayani Republik."
Presiden Haiti Jovenel Moise menegaskan di Twitter bahwa ia telah menerima pengunduran diri Lafontant serta beberapa anggota kabinet.
Â
Simak pula video pilihan berikut:
Warga Menuntut Presiden Mundur
PM Lafontant telah menunda kenaikan harga BBM setelah protes meletus pekan lalu.
Tetapi, krisis terus berlanjut dan seruan agar perdana menteri segera mengundurkan diri datang dari oposisi dan beberapa kelompok bisnis.
Para pengunjuk rasa saat ini terus berbaris di Port-au-Prince, di mana beberapa orang menyerukan agar Presiden Haiti Jovenel Moise mundur juga.
Fleurette Pierre, seorang demonstran, berkata: "Ini bukan hanya masalah mengubah perdana menteri, karena hari demi hari, orang-orang masih menderita lebih banyak penderitaan, pengangguran, ketidakamanan, dan kelaparan."
Advertisement