Liputan6.com, Moskow - Sebuah pembantaian terjadi pada 17 Juli 1918 jelang tengah malam. Kala itu, dokter istana, dr Eugene Botkin membangunkan Tsar Rusia Nicholas II beserta seluruh keluarganya.
Alasannya, mereka akan dipindahkan ke lokasi yang lebih aman, menyusul kekacauan yang terjadi di Yekaterinburg.
Keluarga kerajaan diminta memasuki ruangan bawah tanah berukuran 6 x 5 meter. Tak disangka, di sana lah mereka dihabisi oleh kaum revolusioner Bolshevik.
Advertisement
Baca Juga
Tiba-tiba, hampir selusin orang bersenjata menyerbu masuk ke ruangan dan memberondong keluarga kekaisaran. Asap mengepul dari senapan. Mereka yang masih bernapas ketika selubung tabun menghilang, ditikam dengan bayonet.
Jasad Tsar Nicholas II, Alexandra, dan 4 putri mereka -- Anastasia, Maria, Olga, dan Tatiana -- juga putra mereka Tsarevich Alexei dan 4 anggota kerajaan lalu dibawa ke sebuah tambang, sekitar 14 kilometer dari Ekaterinburg.
Tubuh mereka yang tak lagi bernyawa disiram bensin dan dibakar. Tulang-belulang disiram cairan asam agar hancur. Kemudian yang tersisa dilemparkan ke lubang tambang dan ditutupi dengan tanah.
Jenazah pasangan kerajaan dan 3 anak perempuan mereka diekskavasi pada 1991, diidentifikasi secara formal dengan sampel DNA, dan dimakamkan kembali di Katedral St Petersburg pada 17 Juli 1998 -- 80 tahun setelah pembunuhan terjadi. Kelimanya diangkat sebagai orang suci oleh Gereja Ortodoks Rusia pada 2000.
Sebelum jasad-jasad tersebut ditemukan, desas-desus menyebar bahwa ada beberapa dari mereka yang selamat, terutama Anastasia.
Penyelidikan kasus pembunuhan terhadap keluarga Romanov awalnya dilakukan pada tahun 1993 untuk mengidentifikasi dugaan temuan jasad Tsar Nicolas II, istrinya, dan 3 anak perempuan, serta staf istana, yang ditemukan di dekat Kota Yekaterinburg di wilayah Ural. Kasus ini ditutup pada 1998, karena kematian para tersangka.
Pada 2015, penyelidik Rusia telah mengekskavasi jasad penguasa terakhir dinasti Romanov, Tsar Nicholas II dan istrinya, Alexandra. Komite Investigasi Kementerian Dalam Negeri juga telah membuka kembali penyelidikan atas kasus pembunuhan yang terjadi pada awal Abad ke-20 itu.
Seperti dikutip dari Russian Today (RT), Juru Bicara Komite Investigasi, Vladimir Markin mengumumkan, kasus dibuka kembali berdasarkan kemunculan bukti baru.
Bukti baru berupa dokumen yang disebut 'White Guards Investigation', berkaitan dengan penyelidikan yang dilakukan antara tahun 1918 dan 1924 oleh mantan perwira Kerajaan Rusia. Dokumen-dokumen tersebut ditemukan pada 2011 bersama dengan sejumlah bukti.
Ada juga permintaan dari pihak Gereja Ortodoks, untuk mengecek kembali kaitan 2 jasad yang ditemukan pada 2007 dengan keluarga Romanov -- sebelum pemakaman dilakukan.
Jasad gadis kecil dan seorang anak yang ditemukan di Porosenkovsy Meadow, diduga sebagai Grand Duchess Maria dan Aleksey -- putra dan putri Tsar Nicholas II.
Selain mengambil sampel dari Tsar Nicholas II dan istrinya, materi pembanding didapatkan dari seragam berlumuran darah milik Alexander II, kakek Nicholas, yang tewas pada 1881.
Penyelidikan baru juga mengambil sampel dari kakak Alexandra, Grand Duchess Elizabeth Fyodorovna, yang dimakamkan di Yerusalem. Baru sekarang, Rusia mendapatkan akses untuk mendapatkan sampel tersebut.
Pengacara Grand Duchess Maria Vladimirovna -- keturunan Romanov -- menyatakan, pihaknya mendukung penyelidikan baru.
Dikutip oleh kantor berita Rusia, Tass, pengacara German Lukyanov mengatakan, tidak semua aspek pembunuhan keluarga kekaisaran dijelaskan dalam kasus ini. "Dan tidak semua pertanyaan Gereja Ortodoks Rusia dijawab sepenuhnya dan jelas," kata dia, seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Kamis (24/9/2015).
"Grand Duchess berharap eksaminasi jasad yang ditemukan di Yekaterinburg dilakukan secara ilmiah... Kebenaran harus diungkap dalam kasus ini, untuk menjawab pertanyaan yang paling sejati: siapa sebenarnya jasad-jasad itu."
Misteri pembantaian Tsar Rusia Nicholas II dan keluarganya belum berakhir.
Â
Â
Kapal Penyelamat Korban Titanic Tamat
Selain pembantaian Tsar Rusia dan keluarganya, pada 17 Juli 1917 dinasti penguasa kerajaan Inggris berganti nama, dari Saxe-Coburg-Gotha ke Windsor.
Kala itu, sentimen anti-Jerman mencapai puncaknya di Inggris. Meski akhir Perang Dunia I sudah di depan mata, namun Kaiser Wilhelm II, sepupu Raja Inggris George sekaligus cucu Ratu Victoria, justru menjatuhkan sejumlah bom Gotha G.IV ke Britania Raya.
Insiden tersebut membangkitkan kebencian pada keluarga kerajaan, yang namanya sama-sama memiliki unsur 'Gotha'. Apalagi setelah sebuah bom Jerman jatuh di sebuah sekolah di East End, London dan menewaskan 18 anak.
Dihadapkan pada tudingan pro-Jerman, Raja George memerintahkan sekretaris pribadinya Lord Stamfordham, mengajukan nama alternatif.
Sejumlah nama bermuatan historis seperti Tudor, Plantagenet, dan Stuart ditolak. Nyaris putus asa, Lord Stamfordham yang kala itu berada di ruang kerjanya di Kastil Windsor berpikir, "mengapa tidak mengambil nama Windsor?
Monarki Inggris telah menggunakan kastil itu sejak Abad ke-11. Apalagi, nama itu sangat Inggris.
Selain itu pada 17 Juli 1918, riwayat RMS Carpathia tamat setelah ditembak torpedo yang dilepas kapal selam Jerman SM U-55 di lepas pantai Irlandia pada Perang Dunia I. Lima awaknya tewas dalam insiden itu.
RMS Carpathia menjadi kapal penyelamat bagi para penyintas tragedi Titanic. Dengan gagah berani, nakhodanya, Kapten Arthur Henry Rostron membalikkan arah kapal, menerobos perairan berbahaya penuh es, mengerahkan seluruh tenaga mesin uap demi melakukan misi penyelamatan secepat mungkin.
Sang nakhoda juga memerintahkan para awak menyiapkan minuman dan sup panas untuk para penyintas. Ruang publik dalam kapal segera disulap jadi lokasi penampungan darurat. Dokter-dokter pun diminta siaga merawat korban luka.
Kapal uap penumpang trans-Atlantik itu tiba dua jam setelah Titanic karam, menyelamatkan 705 orang yang berhasil kabur dari maut dengan menaiki sejumlah sekoci.
Kisah tenggelamnya Titanic pada 15 April 1912, yang menewaskan 1.517 orang, sudah diketahui banyak orang. Namun, apa yang terjadi setelah para korban selamat ditampung di Carpathia jarang dikenang.
Advertisement