Liputan6.com, Tehran - Iran telah mengajukan gugatan hukum terhadap Amerika Serikat di pengadilan internasional terhadap perintah Presiden AS Donald Trump untuk memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Tehran.
Trump kembali memberlakukan sanksi kepada Negeri Para Mullah setelah dirinya menarik AS keluar dari Kesepakatan Nuklir Iran atau JCPOA pada Mei 2018.
JCPOA atau "Iran nuclear deal", merupakan pakta kesepakatan antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS) plus Jerman dan Uni Eropa.
Advertisement
Menurut pakta itu, Iran dituntut untuk mengurangi stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen dan berhenti menjalankan program pengembangan senjata nuklir. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan.
Namun, AS yang tak lagi terikat dengan JCPOA, kembali memberlakukan sanksi kepada Iran.
Pernyataan pengadilan internasional pada Selasa 17 Juli 2018 menyatakan Iran meminta pengadilan itu untuk memerintahkan AS tetap mencabut sanksi-sanksi tersebut. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (19/7/2018).
Baca Juga
Pengadilan internasional, atau lazim dikenal dengan nama formal International Court of Justice adalah mahkamah pengadilan tinggi PBB.
Lebih lanjut, Iran mengatakan bahwa langkah AS untuk kembali menerapkan sanksi merupakan sebuah pelanggaran atas perjanjian 1955 yang ditandatangani di bawah Syah Iran, yang disebut Perjanjian Hubungan Ekonomi dan Persahabatan.
"Di tengah pelanggaran kewajiban hukum dan diplomasi yang dilakukan Amerika Serikat, Iran tetap berkomitmen pada aturan hukum," kata Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif melalui cuitan di Twitter.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS mengatakan, gugatan hukum Iran itu tidak berdasar.
"Gugatan hukum itu tidak berdasar dan kami berniat seteguhnya membela diri di hadapan pengadilan internasional itu," ujar pejabat AS tersebut.
Â
Simak video pilihan berikut:
Sanksi AS ke Iran Berlanjut
Pada Selasa, 8 Mei 2018, Donald Trump menandatangani memorandum presiden yang menarik Amerika Serikat keluar dari kesepakatan nuklir Iran atau yang dikenali pula dengan sebutan Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA). Tidak hanya itu, Donald Trump juga akan memberlakukan kembali sanksi terhadap Teheran.
Presiden ke-45 Amerika Serikat tersebut mengklaim bahwa kesepatan nuklir Iran yang dianggapnya "cacat", tidak menghentikan Teheran mengembangkan bom nuklir.
Iran dituding gagal berlaku jujur tentang ambisi nuklirnya, mendukung kelompok teroris, dan bertindak dengan cara yang semakin bermusuhan di Timur Tengah.
"Jelas bagi saya bahwa kita tidak bisa mencegah bom nuklir Iran di bawah struktur perjanjian saat ini yang rusak dan membusuk," ujar Donald Trump seperti dikutip dari Telegraph, Rabu (9/5/2018).
"Pada intinya, kesepakatan Iran cacat. Jika kita tidak melakukan apa-apa, kita tahu pasti apa yang akan terjadi. Hanya dalam waktu singkat, negara pemimpin sponsor teror dunia akan berada di titik puncak untuk memperoleh senjata paling berbahaya di muka bumi."
"Oleh karena itu, saya umumkan hari ini bahwa Amerika Serikat akan menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran."
Donald Trump menambahkan, "Setiap negara yang membantu Iran dalam mewujudkan senjata nuklir dapat dikenakan sanksi keras oleh Amerika Serikat".
Inggris, Prancis, dan Jerman mengutuk kebijakan Donald Trump. Ketiganya pun berjanji akan tetap bertahan dengan kesepakatan nuklir Iran yang ditandatangani pada tahun 2015, saat pemerintahan Barack Obama.
Dalam pernyataan bersamanya, Inggris, Prancis, dan Jerman menegaskan bahwa kesepakatan nuklir Iran merupakan satu-satunya cara untuk mencegah perlombaan nuklir di Timur Tengah.
Di lain sisi, kebijakan Donald Trump untuk hengkang dari pakta nuklir Iran, didukung oleh Israel, yang beberapa waktu lalu merilis apa yang diklaimnya data intelijen menyangkut program nuklir Iran. Sejumlah negara Arab, salah satunya Arab Saudi, juga menyambut baik keputusan Donald Trump.
Advertisement