Sukses

Sahkan Undang-Undang Baru, Israel Deklarasikan Diri Sebagai Negara Bangsa Yahudi

Parlemen Israel telah mengesahkan undang-undang kontroversial, yang mendefinisikan negara tersebut sebagai 'negara bangsa Yahudi'.

Liputan6.com, Givat Ram - Parlemen Israel telah mengesahkan undang-undang yang kontroversial, yang mendefinisikan negara tersebut sebagai 'negara bangsa Yahudi' secara eksklusif.

Undang-Undang "negara bangsa Yahudi" menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi "dengan status khusus" --sebuah penurunan atas status linguistik tersebut-- dan mengatakan akan memajukan pemukiman Yahudi sebagai kepentingan nasional. Demikian seperti dikutip dari BBC, Kamis (19/7/2018).

Naskah tersebut juga menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota yang "utuh dan bersatu" untuk Israel.

Anggota parlemen Arab Israel mengecam undang-undang tersebut, namun Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memuji, dengan menyebutnya sebagai "momen yang menentukan".

RUU ini didukung oleh pemerintah sayap kanan yang menyebut bahwa Israel adalah tanah air bersejarah bagi orang-orang Yahudi dan mereka memiliki hak eksklusif untuk menentukan nasib sendiri di negaranya.

Dalam sidang pengesahan di Knesset yang berlangsung lebih dari delapan jam, sebanyak 60 anggota parlemen menyetujui sementara 55 lainnya menentang. Namun ada beberapa klausul yang dibatalkan karena presiden dan jaksa agung Israel merasa keberatan.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Kelompok Arab Israel Menentang

Di sisi lain, kelompok Arab Israel ikut menentang undang-undang terebut. Sebagaimana diketahui, Arab Israel membentuk sekitar 20 persen dari populasi Israel yang seluruhnya berjumlah sembilan juta orang.

Meski mereka memiliki hak yang sama di mata hukum, namun mereka seringkali merasa diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Selain itu, mereka juga harus menghadapi diskriminasi karena mendapatkan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang lebih buruk.

"Pengesahan RUU ini melambangkan kematian demokrasi negara," kata anggota parlemen Arab, Ahmed Tibi.

Pekan lalu, Netanyahu membela RUU tersebut dengan mengatakan, "Kami akan tetap memastikan hak-hak sipil dalam demokrasi Israel, tetapi mayoritas juga memiliki hak dan mayoritas memutuskan."