Liputan6.com, Paris - Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Prancis Emmanuel Macron telah membicarakan kerja sama untuk memberikan bantuan kemanusiaan gabungan kepada warga sipil di Suriah.
Pembicaraan itu dilaksanakan lewat sambungan telepon pada Sabtu 21 Juli 2018, kata pihak Kremlin, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (22/7/2018).
Pada hari yang sama, Prancis telah mengirim bantuan mendis sebanyak 50 ton kepada warga sipil terdampak konflik di Ghouta Timur, Suriah. Prancis mengirim bantuan itu setelah Rusia setuju untuk memfasilitasi proses pendistribusian.
Advertisement
Bantuan itu dikirim menggunakan sebuah pesawat militer Rusia yang lepas landas dari Chateauroux, Prancis, berisi bantuan medis dan perbekalan berbobot 50 ton dengan tujuan Suriah.
Barang-barang itu akan didistribusikan oleh sebuah badan PBB yang mengoordinasi bantuan kemanusiaan.
Baca Juga
Seorang fotografer yang menyaksikan pengisian muatan ke pesawat terbang memberitahu kantor berita Prancis AFP bahwa pasokan itu termasuk kemah, peralatan medis, selimut, dan alat-alat masak.
Sebuah pernyataan gabungan oleh Perancis dan Rusia mengatakan, "bantuan kemanusiaan merupakan prioritas mutlak dan harus didistribusikan sesuai prinsip-prinsip kemanusiaan, netralitas, ketidakberpihakan dan independen" di seluruh Suriah tanpa pengecualian.
Pada kesempatan terpisah, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo juga membahas usaha untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Suriah, kata Kementerian Luar Negeri Rusia.
Â
Simak video pilihan berikut:
Warga Sipil Mengungsi dari Barat Daya Suriah
Sementara itu, sekelompok anggota pemberontak beserta keluarga mereka mulai mengungsi dari bagian barat daya Suriah pada Sabtu 21 Juli 2018, menurut laporan aktivis dan media Suriah.
Hal itu menandai keberhasilan pasukan pemerintah mencapai kemajuan dalam ofensifnya yang masih terus berlangsung di kawasan tersebut.
Syrian Observatory for Human Rights yang berbasis di Inggris menyatakan, 25 bus tiba di pos penyeberangan untuk mengevakuasi pemberontak dan anggota keluarga mereka yang menolak untuk menerima kembalinya pasukan pemerintah ke daerah-daerah yang telah bertahun-tahun mereka kuasai.
Media militer yang berafiliasi dengan pemerintah juga melaporkan evakuasi tersebut, sehari setelah kelompok pertama bertolak menuju Idlib, provinsi di bagian utara, di mana oposisi masih menguasai sejumlah kawasan.
Rami Abdurrahman, Direktur Syrian Observatory for Human Rights mengatakan, secara keseluruhan ada sekitar 4.000 orang yang diperkirakan akan dievakuasi, sesuai dengan kesepakatan yang dicapai yang membuat pemberontak menyerahkan desa-desa dan kota-kota di kawasan baratdaya di tengah ofensif militer.
PBB dan berbagai organisasi HAM mengutuk evakuasi itu sebagai pemindahan paksa. Lebih dari separuh populasi Idlib yang berpenduduk dua juta orang adalah pengungsi Suriah dari berbagai bagian lain negara itu, setelah serangan militer dan evakuasi serupa.
Advertisement