Sukses

Tim Dokter: Pengungsi Rohingya Adalah Korban Kejahatan Kemanusiaan

Sekelompok dokter yang menangani pengungsi Rohingya menyatakan bukti medis dan ilmiah mengindikasikan tingkat kekerasan yang mereka alami.

Liputan6.com, Dhaka - Sekelompok dokter yang menangani pengungsi Rohingya di Bangladesh menyatakan bukti medis dan ilmiah mengindikasikan tingkat kekerasan yang mereka alami. Tim itu meyakini, orang-orang Rohingya itu menjadi korban militer dan warga sipil Myanmar.

Dalam laporan berjudul "Please Tell the World What They Have Done to Us" (Tolong Katakan kepada Dunia tentang Apa yang Mereka Lakukan terhadap Kami), Physicians for Human Rights (PHR) merinci temuan evaluasi medis forensik terhadap 22 orang Rohingya yang selamat dari serangan pada Agustus 2017 di desa Chut Pyin, negara bagian Rakhine, utara Myanmar.

PHR menyatakan "Chut Pyin merupakan contoh utama kampanye kekerasan yang brutal yang dilakukan pihak berwenang Myanmar terhadap warga Rohingya, dan bahwa apa yang terjadi di Chut Pyin, dan tempat lain di Rakhine, harus diinvestigasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan." Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (23/7/2018).

Warga Rohingya yang melarikan diri telah memberi laporan mengerikan mengenai militer yang membakar desa-desa mereka di Rakhine, serta menggunakan perkosaan, pembunuhan, penjarahan dan ranjau darat untuk mencegah mereka kembali ke rumah.

"Kami melihat luka tembak ganda yang konsisten dengan keadaan orang-orang yang ditembak sewaktu melarikan diri dan mendengar banyak laporan mengenai perkosaan dan kekerasan seksual lainnya," kata Dr. Homer Venters, direktur program PHR.

"Kami dengan teliti dan cermat menganalisis mereka yang cedera, kesaksian langsung, dan pernyataan saksi mata serta semua pemeriksaan forensik kami sangat konsisten dengan peristiwa yang digambarkan para penyintas."

Tujuh belas dari 22 penyintas Chut Pyin yang ditemui PHR memiliki sedikitnya satu luka tembak dan mobilitas sembilan penyintas sangat terganggu.

Para penyintas mengalami berbagai luka, termasuk luka tembak, trauma kekerasan dengan benda tumpul, luka sayat dan sebagainya. Luka-luka itu menjadi bukti medis untuk menguatkan pernyataan penyintas mengenai penembakan, pemukulan, penikaman dan berbagai bentuk kekerasan lain yang terjadi pada hari itu, sebut PHR.

Lebih dari 700 ribu Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine sejak Agustus 2017, setelah serangan militan Rohingya terhadap pasukan keamanan negara bagian mendorong aksi balasan dari militer. PBB menyatakan militer membalas dengan aksi yang terorganisir baik, sistematis dan terpadu, seraya menyebut respons tersebut sebagai contoh dari pembersihan etnis.

PHR, organisasi advokasi berbasis di Amerika Serikat yang menggunakan sains dan kedokteran untuk mendokumentasikan dan menyerukan perhatian pada kekejaman massal dan pelanggaran berat HAM.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Laporan Amnesty International

Lembaga pemerhati HAM, Amnesty International, dikabarkan telah mengindentifikasi 13 orang pejabat militer dan polisi Myanmar, yang memiliki peran kunci dalam kejahatan kemanusian terhadap minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.

Laporan identifikasi di atas kembali menegaskan desakan kepada Dewan Keamanan PBB untuk merujuk situasi terkait ke Pengadilan Pidana Internasional.

Dikutip dari Time.com pada Rabu 27 Juni 2018, Amnesty International mengklaim memiliki bukti bahwa sembilan dari 11 Kejahatan HAM yang tercantum dalam Statuta Roma, termasuk pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan, dilakukan terhadap minoritas Rohingya sejak akhir tahun lalu.

Laporan setebal 190 halaman itu, berdasarkan lebih dari 400 wawancara yang dilakukan selama sembilan bulan di Myanmar dan Bangladesh, menggambarkan saksi dan laporan lain tentang pembunuhan di luar hukum, perkosaan massal, perampasan sumber daya vital, dan pembakaran desa-desa Rohingya dalam "cara yang disengaja".

Ditambahkan oleh Amnesty International, masyarakat Rohingya merupakan minoritas muslim yang teraniaya dan kebanyakan tanpa kewarganegaraan dari negara bagian Rakhine di wilayah barat Myanmar, negara dengan mayoritas penganut Buddha.

Setelah kelompok pemberontak yang dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan beberapa serangan terhadap pasukan keamanan negara pada 25 Agustus 2017, militer Myanmar melakukan pembalasan brutal yang menargetkan warga sipil Rohingya.

Sejak itu, lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh, mewakili sekitar 80 persen dari total populasi mereka di wilayah utara negara bagian Rakhine.

Sekitar 200.000 orang warga Rohingya tinggal di permukiman pengungsi di distrik Cox's Bazar, Bangladesh, setelah melarikan diri dari kekerasan sebelumnya. Kini, kelompok pengungsi itu memiliki perkiraan total populasi sekitar 1,1 juta orang.

Lebih lanjut, Amnesty International menuduh bahwa pelanggaran militer terjadi, baik sebelum dan sesudah serangan ARSA Agustus tahun lalu, serupa dengan "serangan brutal" yang terjadi pada Oktober 2016.

Laporan tersebut juga mengidentifikasi dua divisi tempur yang diketahui terlibat dalam pelanggaran serupa lainnya di Myanmar, yakni 33rd and 99th light infantry divisions yang dikerahkan ke negara bagian Rakhine sebelum kekerasan Agustus terjadi.

Amnesty International juga memperoleh rekaman audio tentang "konflik Agustus 2017" --diyakini otentik-- yang didapat dari panggilan telepon antara penduduk Rohingya dan seorang perwira militer setempat.

Dalam rekaman itu, petugas mengatakan, dalam bahasa Burma, "Kami mendapat perintah untuk membakar seluruh desa jika ada gangguan. Jika Anda penduduk desa tidak hidup dengan damai, kami akan menghancurkan segalanya ... Kami memulai operasi ... Jika Anda hanya diam, tidak akan ada masalah. Jika tidak, Anda semua akan berada dalam bahaya."