Liputan6.com, New York - Dunia masih mengingat apa yang terjadi pada 11 September 2001, ketika dua pesawat sengaja ditabrakkan ke Menara Kembar World Trade Center (WTC), Amerika Serikat. Sebanyak 2.996, termasuk 19 pembajak, tewas pada hari itu. Insiden tersebut menjadi serangan teror terbesar yang dilancarkan di Negeri Paman Sam.
Namun, itu bukan kali pertamanya pesawat menabrak gedung tinggi di AS. Lima puluh enam tahun sebelumnya, kejadian serupa menimpa Empire State Building, yang kala itu menjadi pencakar langit tertinggi di dunia.
Pada 28 Juli 1945, Letnan Kolonel William Franklin Smith Jr menerbangkan jet tempur B-25 Bomber dari pangkalan militer New Bedford, Massachusetts ke LaGuardia Airport di New York City, untuk melaksanakan tugas, menjemput para prajurit di kota tujuan.
Advertisement
Namun, cuaca pagi itu sama sekali tak bersahabat. Kabut tebal menggumpal di sana-sini.
Baca Juga
Para awak yang berada di darat memberitahukan kepada Smith bahwa jarak pandang saat itu adalah 0 kilometer. Upaya pendaratan dalam kondisi itu adalah gagasan yang buruk. Mereka diarahkan mendarat di Bandara Newark.
Seperti dikutip dari www.smithsonianmag.com, Jumat (27/7/2018), untuk mencapai Newark ia harus terbang di atas Manhattan.
"Kami tak bisa melihat puncak Empire State Building," demikian kata petugas pengendali lalu lintas udara, seperti dikutipo dari TIME. Namun, Smith terus terbang. Kapal terbang ia pacu perlahan, dengan kecepatan sekitar 225 mil per jam.
Pilot 27 tahun itu berhasil menghindari Chrysler Building, Rockefeller Center, dan apa yang kini dikenal sebagai Helmsley Building.
Namun, ketika jarum jam menunjuk ke pukul 09.40, B-25 Bomber menabrak lantai Empire State Building.
"Jet bomber itu melesat, menembus baja tebal dan batu, seakan bangunan itu terbuat dari bubur kertas dan lem," demikian diungkap TIME. "Kemudian, muncul kilatan api, tanki bahan bakar meledak. Api pun berkobar di dalam dan luar bangunan."
Lubang 18 x 20 kaki muncul di sisi Empire State Building. Tiga lantai terdampak, namun struktur inti bangunan tersebut tetap bertahan. Kecelakaan tersebut menimbulkan kerugian hampir US$ 1 juta atau sekitar US$ 10,5 juta dalam nilai saat ini.
Insiden tersebut terjadi pada hari Sabtu, ketika sebagian besar pekerja di sana libur. Meski demikian, korban jiwa jatuh.
Smith dan dua penumpangnya tewas seketika. Sebelas orang di dalam bangunan juga menjadi korban. Total, 14 orang meninggal dunia dalam insiden tersebut.
"Mayoritas korban adalah para perempuan yang dipekerjakan National Catholic Welfare Conference yang berkantor di lantai 79. Sebagian korban terbakar hingga tak bisa dikenali."
Sementara itu, keajaiban dialami petugas operator lift, Betty Lou Oliver.
Perempuan 19 tahun itu selamat meski kabel penggantung lift yang ia naiki putus dan membuatnya terjun bebas dari lantai 79. Namanya pun masuk ke daftar Guinness World Record sebagai penyintas lift jatuh tertinggi di dunia.
Kisah Betty Lou Oliver yang luar biasa tak lepas dari andil seorang relawan. Donald Malony. Pemuda 17 tahun yang kala itu magang di rumah sakit Coast Guard masuk ke dalam lubang lift dan segera menarik korban.
Setelah memberikan morfin pada korban, ia lari ke apotek terdekat, meminta petugas di sana memberikan jarum suntik, obat-obatan, dan persediaan lainnya. Malony kemudian memberi pertolongan pertama kepada banyak orang yang menjadi korban tabrakan pesawat.
Gempa yang Tewaskan 250 Ribu Jiwa
Tak hanya insiden tabrakan pesawat di Empire State Building, sejumlah kejadian menarik dalam sejarah dunia juga terjadi pada tanggal 28 Juli.
Salah satunya, gempa yang melanda Tangshan, China pada 28 Juli 1976.  Lindu 7,8 skala Richter mengguncang tepat saat jarum jam menunjuk ke pukul 03.42 waktu setempat.
Gempa utama berlangsung 'hanya' 14 sampai 16 detik. Tak lama kemudian giliran lindu 7,1 SR mengguncang.
Dampaknya sungguh fatal. Kota-kota di sekitar episentrum hancur lebur. Sebanyak 240 ribu orang meninggal dunia -- meski banyak orang yakin, jumlah mereka yang tewas sampai 750 ribu jiwa.
Guncangan juga dirasakan kuat di Beijing, yang memaksa warga malam itu tinggal di luar rumah. Mereka tak berani kembali ke rumah.
Saking kuatnya guncangan, orang-orang dilaporkan terlempar ke udara. Jalan, jembatan, stasiun kereta api, rumah dan pabrik-pabrik remuk bak terbuat dari kardus -- bukan beton.
Gempa juga memutus aliran listrik yang membuat upaya penyelamatan berlangsung sulit. Satu-satunya hal yang bisa disyukuri adalah, lindu melanda pada musim panas. Tak terbayangkan derita yang harus dialami mereka yang selamat jika bencana terjadi pada musim dingin. Niscaya jumlah korban jiwa akan lebih tinggi.
Warga asing yang kebetulan melewati Tangshan setahun kemudian menggambarkan kehancuran yang ia saksikan. "Mirip gambaran dampak terburuk bom selama Perang Dunia II".
Sebelum malapetaka datang, alam diyakini telah memberikan pertanda. Dengan mata kepala sendiri, warga menyaksikan hal-hal aneh terjadi.
Permukaan sumur di luar kota Tangshan di Tiongkok naik turun tiga kali sehari. Di desa lain gas keluar dari sumber air warga.
Tikus-tikus berlarian pada siang bolong, ikan-ikan di akuarium gelisah dan mencoba melompat keluar.
"Cuaca sangat panas, beberapa hari sebelum gempa, anjing dan ayam menolak masuk ke bangunan," kata Yao Guangqing, pegawai pemerintah, seperti dikutip dari situs Danwei.
Sikap manusia pun berubah. Malam sebelum gempa, ada pertunjukan layar tancap. Butuh waktu empat jam untuk menayangkan satu film saja. Orang-orang gelisah dan gampang marah, berkali-kali jalan cerita dihentikan di tengah jalan gara-gara perkelahian antar-penonton.
Sebelum fajar menyingsing, 28 Juli 1976, para peternak di Kaokechuang juga menjumpai hal tak biasa. Kala itu, mereka berniat memberikan pakan sesuai jadwal.
Bukannya makan, kerumunan kuda dan keledai justru mengamuk. Mereka melompat dan menendang sejadinya. Setelah menjebol kandang, hewan-hewan itu lari tunggang langgang.
Beberapa menit kemudian, kilatan cahaya putih menyilaukan terlihat di langit. Gemuruh yang luar biasa keras terdengar saat gempa mengguncang.Â
Advertisement