Liputan6.com, Abuja - Lebih dari dua juta botol obat batuk sirup yang mengandung bahan aktif kodein sedang ditarik oleh pemerintah Nigeria, guna menghentikan penyalahgunaan obat-obatan secara luas, kata Kementerian Kesehatan setempat.
Penarikan ini didasarkan pada rekomendasi dari laporan terbaru komite dan badan-badan anti-narkoba di negara itu.
"Kami meminta semua perusahaan farmasi produsen obat batuk sirup berbahan kodein untuk menarik suplai mereka," kata Direktur Jenderpal BPOM Nigeria, Christiana Adeyeye kepada CNN, dikutip pada Kamis (2/8/2018).
Advertisement
"Prosesnya memakan waktu enam pekan, tetapi langkah yang mesti kami ambil untuk mengatasi penyalahgunaan kodein di negara ini," lanjutnya.
Kodein, pereda nyeri kategori opioid, adalah obat kedua yang paling sering disalahgunakan di Nigeria, menurut laporan Nigerian Epidemiological Network on Drug Use pada 2016.
Baca Juga
Sekitar 21 persen orang Nigeria menyalahgunakan obat berbahan aktif kodein. Zat itu berada di posisi kedua setelah obat berbahan aktif tramadol berada di peringkat pertama dengan tingkat penyalahgunaan 69 persen.
Kodein telah berada di bawah pengawasan sejak tahun lalu, usai Senat Nigeria mengklaim bahwa sekitar tiga juta botol obat batuk sirup berbahan aktif kodein dikonsumsi setiap hari di dua negara bagian di utara negara itu.
Pada Maret lalu, Badan Anti-Narkoba Nigeria mengatakan, para pejabatnya telah mencegat 24.000 botol sirup obat batuk yang tidak terdaftar dalam sebuah penggerebekan di Katsina, sebuah negara di Nigeria utara, media setempat melaporkan.
Simak video pilihan berikut:
Pecandu Muda
Obat batuk sirup berbahan aktif kodein umumnya disalahgunakan bersama obat resep seperti tramadol oleh pemuda Nigeria, menurut pejabat kesehatan di Nigeria.
"Bahkan remaja dan orang dewasa muda menyalahgunakan obat resep seperti tramadol, rophynol, sirup batuk kodein. Beberapa diselundupkan ke negara itu sebagai produk yang tidak terdaftar," Direktur Jenderpal BPOM Nigeria, Christiana Adeyeye kepada CNN, sambil menyerukan hukuman yang lebih ketat untuk penyelundupan narkoba di negara itu.
Marcus Odiegwu, seorang siswa berusia 19 tahun, mengatakan kepada CNN bahwa dia mencampur beberapa botol obat batuk sirup kodein dengan tablet tramadol yang dihancurkan untuk mendapatkan efek 'high' yang tinggi.
"Saya punya teman yang menggunakan kodein pada waktu itu. Saya melihat efek obat itu padanya, saya coba dan saya menyukainya," kata Odiegwu.
"Mereka akan 'high' terus seperti itu. Jadi saya memutuskan untuk mencobanya suatu malam, dan itu terasa keren, dan saya melanjutkan," katanya kepada CNN.
"Aku bisa melakukan hal-hal gila ketika aku marah, tapi aku tidak mengambil hati (jika disinggung) ketika tengah menggunakan kodein. Kau mungkin menyinggung perasaanku, tapi aku terlalu santai untuk merespons," tambah siswa itu.
Opioid seperti morfin dan kodein secara alami berasal dari tanaman opium yang umum tumbuh di Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC).
Zat itu membendung reseptor di otak dan sumsum tulang belakang, mengganggu sinyal rasa sakit. Mereka juga mengaktifkan area otak yang melepaskan hormon dopamin, menciptakan perasaan euforia atau "high".
Orang-orang yang tergantung pada opioid mungkin mengalami gejala 'sakau' ketika mereka berhenti dan mungkin perlu mengambil dosis yang lebih tinggi yang mengarah ke kecanduan.
Advertisement
Kata PBB
Glen Prichard adalah koordinator untuk Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kriminal (UNODC), bidang Respons Nigeria terhadap Narkoba dan Kejahatan Terorganisir Terkait.
Prichard mengatakan kepada CNN, operasi penegakan hukum Nigeria terhadap obat-obatan terlarang telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Nigeria kerap menjadi sasaran karena populasi dan ukuran pasar yang besar, menjadikannya tujuan yang menarik bagi jaringan kriminal yang memperdagangkan obat-obatan di Afrika Barat.
Selain Nigeria, UNODC memperingatkan perdagangan ilegal dan penyalahgunaan opioid sintetis yang semakin meningkat telah mendestabilisasi bagian Afrika Barat, terutama di wilayah Sahel.
Prichard mengatakan ada dua aspek yang berpotensi mengkhawatirkan masalah narkoba di Afrika Barat.
Pertama, adalah komplikasi kesehatan yang muncul dari penyalahgunaan obat resep yang mengarah pada ketergantungan, yang lain adalah potensinya untuk merusak keamanan nasional, terutama di negara-negara yang menghadapi terorisme di wilayah tersebut.
"Dampak perdagangan narkoba berkontribusi terhadap kriminalisasi di masyarakat dan melemahnya institusi yang pada gilirannya memiliki efek mengganggu stabilitas," kata Prichard.
"Perdagangan narkoba bukan hanya dari obat-obatan, tetapi juga tentang zat terlarang lainnya dan itu adalah masalah yang harus diperhatikan oleh Nigeria dan kawasan," tambahnya.