Sukses

Wanita Jepang: Skandal Pembatasan Mahasiswi di Universitas Kedokteran Terkuak, Itu Rahasia Umum

Terungkapnya skandal pembatasan mahasiswi yang diterima di sekolah kedokteran disebut telah menjadi rahasia umum di kalangan wanita Jepang.

Liputan6.com, Tokyo - Sebagian kaum Hawa di Jepang mengaku telah lama menduga tentang kecurangan dalam proses penerimaan mahasiswi di Tokyo Medical University, yang dalam beberapa waktu terakhir, dituding mendiskreditkan pelamar wanita.

Dikutip dari Japan Times pada Kamis (9/8/2018), kecurigaan itu didukung oleh fakta bahwa rasio wanita yang telah lulus ujian medis nasional, secara konsisten tetap pada kisaran 30 persen selama hampir 20 tahun.

"Kami beberapa kali mendengar desas-desus bahwa universitas kedokteran berusaha mengecilkan proporsi pelajar wanita," kata Ruriko Tsushima, seorang dokter kandungan dan kepala Tsushima Ruriko Women's Life Clinic di distrik Ginza, Tokyo.

Dokter wanita lain, yang saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Tokyo, juga mengatakan tindakan seksisme itu adalah "rahasia umum" di kalangan kaum hawa yang mendaftar ke berbagai sekolah kedokteran Jepang.

"Saya yakin banyak pelamar menyadari bahwa syarat masuk ditetapkan lebih tinggi bagi wanita di beberapa universitas. Isu ini berkali-kali dibahas di obrolan sehari-hari ketika saya masih duduk di bangku SMA," ujar seorang sumber wanita yang meminta identitasnya dirahasiakan.

"Saya tidak ingin menunjukkan pemahaman saya tentang praktik semacam itu. Tetapi saya juga sadar akan fakta bahwa banyak wanita berjuang untuk meraih pekerjaan sekaligus membesarkan anak, sehingga ada kalanya ameninggalkan tugas di rumah sakit, yang bisa mengakibatkan kekurangan staf, dan ini merupakan alasan mengapa Universitas Kedokteran Tokyo berusaha membenarkan praktek curang tersebut," lanjut sumber terkait menjelaskan.

Ditambahkan oleh sumber tersebut, bahwa sangat sulit bagi wanita untuk terus mengejar karier di dunia kedokteran ketika memiliki anak, terutama di departemen tertentu, seperti operasi misalnya, di mana dokter diharapkan bekerja berjam-jam dan selalu siap sepanjang waktu.

Meskipun belakangan semakin banyak rumah sakit menyediakan fasilitas ramah keluarga, termasuk untuk para stafnya, namun hal tersebut masih lambat disadari oleh pihak universitas kesehatan di Jepang, di mana praktisi medis pria mendominasi posisi eksekutif.

Kyoko Tanebe, seorang dokter kandungan dan kepala Ladies 'Clinic We!, sebuah klinik kecil di Prefektur Toyama, mengatakan kondisi kerja tenaga medis akan membaik jika dokter wanita meningkat proporsinya, dan jika lebih banyak kaum hawa mengambil posisi manajerial.

"Saya percaya itu akan jauh lebih mudah untuk bekerja tidak hanya untuk wanita tetapi juga untuk pria. Tetapi dalam situasi saat ini, itu tidak mungkin terjadi dan saya sangat marah pada isu tersebut," kata Tanebe.

"Jika Anda pergi ke luar negeri, 50 persen dokter adalah wanita, dan ada banyak profesor wanita (di sekolah kedokteran)," katanya.

"Itu selalu membuat saya mempertanyakan keadaan Jepang, di mana kita jarang melihat seorang wanita di kursi profesor." lanjutnya prihatin.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Rendahnya Rasio Dokter di Jepang

Beberapa pengamat kesehatan menyebut Jepang memang tertinggal jauh dibandingkan negara lain dalam hal rasio dokter wanita.

Pada tahun 2015, pangsa dokter wanita di Jepang mencapai 20,3 persen, terendah di antara 34 negara menurut data yang dikumpulkan oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan. Latvia menduduki puncak teratas dengan raihan 74 persen, diikuti oleh Estonia 73 persen, Slovenia 62 persen dan Finlandia 58 persen.

Proporsi wanita bahkan lebih rendah di departemen yang dikenal memiliki jam kerja panjang, seperti di departemen bedah sebanyak 7,8 persen dan bedah saraf 5,2 persen, demikian menurut survei Kementerian Kesehatan Jepang pada 2014.

Seorang wanita berusia 30-an yang menolak disebutkan namanya menuturkan, ketika kaum hawa mengatakan kepada bos prianya bahwa dia hamil, maka dijawab: "Anda akan berhenti setelahnya, kan?"

"Ini dunia yang tertutup. Ini tidak seperti perusahaan di mana Anda dapat kembali ke posisi yang Anda pegang setelah mengambil cuti hamil," katanya.

"Di rumah sakit universitas, bahkan unggahan Anda di media sosial harus diputuskan oleh kebijaksanaan profesor. Setelah Anda pergi (untuk cuti melahirkan), tidak akan ada jalur karier yang menjanjikan setelahnya.'

Seorang sumber wanita lainnya, yang sama-sama berusia 30-an tahun dan pernah bekerja di sektor medis, mengatakan bahwa semua posisi penting, seperti profesor atau asisten profesor, didominasi oleh pria.

Dia mengatakan pernah ada seorang wanita dalam posisi manajemen, tetapi dia pergi setelah memiliki anak.

"Dia adalah dokter spesialis, seperti wanita super. Melihat orang berbakat seperti itu meninggalkan universitas membuat saya berpikir saya tidak bisa bekerja di sana jika saya punya anak," ujar sumber wanita yang sekarang bekerja di klinik kecil itu.

Di rumah sakit universitas, masih menurutnya, tidak ada dokter pengganti untuk staf yang mengambil cuti hamil.

"Menimbang bahwa mengambil cuti hamil akan semakin membebani rekan-rekan mereka yang sudah sibuk, sulit untuk tinggal di rumah sakit setelah memiliki anak," katanya lagi.

Tanebe dari Ladies 'Clinic We! di Toyama mengatakan bahwa bukan karena wanita cenderung mengambil cuti, melainkan inti masalahnya adalah terlalu banyak bekerja.

"Mereka menyalahkan wanita. Tetapi masalahnya adalah institusi medis yang tidak dapat mengubah cara kerja dokter," kata Tanebe.

"Saya senang bahwa skandal universitas terungkap, karena saya percaya, itu membuka kotak Pandora. Ada banyak masalah besar yang harus diketahui publik," lanjutnya.