Sukses

Amnesty International: Kebijakan Uni Eropa Jadi Dalang di Balik Kematian 700 Imigran

Amnesty International, mengklaim bahwa kebijakan Uni Eropa, terutama yang diterapkan oleh Italia dan Malta, merupakan dalang di balik tewasnya 721 imigran sepanjang Juni-Juli 2018.

Liputan6.com, Jakarta Organisasi hak asasi manusia, Amnesty International, mengklaim bahwa kebijakan Uni Eropa, terutama yang diterapkan oleh Italia dan Malta, merupakan dalang di balik tewasnya lebih dari 700 imigran sepanjang Juni-Juli 2018.

Para imigran itu tewas terombang-ambing di Laut Mediterania, setelah kapal yang membawa mereka untuk bermigrasi ke Eropa, dihalau oleh otoritas Italia dan Malta yang menerapkan kebijakan proteksi dari imigran Afrika, ujar Amnesty.

"Meskipun ada pengurangan jumlah orang yang melintasi Mediterania dalam beberapa bulan terakhir, jumlah kematian di laut telah meningkat," kata Matteo de Bellis, seorang peneliti untuk Amnesty International, seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (10/9/2018).

"Kebijakan Uni Eropa telah mendorong penjaga pantai Libya untuk mencegat orang di laut, menurunkan prioritas operasi penyelamatan dan menghalangi pekerjaan penyelamatan penting yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Peningkatan jumlah kematian baru-baru ini bukan hanya tragedi, tapi juga memalukan."

Hampir sebagian besar gelombang imigran Afrika berangkat via Libya, negara gerbang untuk menuju Eropa, dengan menyeberangi Laut Mediterania.

Amnesty International mendeskripsikan, sekitar 1.111 imigran dilaporkan tewas atau menghilang di Mediterania tengah antara Januari-Juni 2018.

Secara khusus, Amnesty melaporkan sekitar 560 imigran tewas pada bulan Juni 2018, dan 157 lainnya tewas pada Juli 2018 --bertepatan ketika pemerintah Italia yang populis menerapkan kebijakan menghalau jalur perlintasan laut Mediterania yang kerap digunakan oleh imigran Afrika untuk menyeberang ke Eropa.

Angka yang diperoleh Amnesty berasal dari International Organisation for Migration (IOM) yang terafiliasi dengan PBB dan Institute for Political Studies Italia.

Amnesty mengatakan gelombang kematian imigran terbaru itu, yang terjadi di sepanjang rute laut berbahaya antara Libya dan Eropa selatan "tidak boleh dianggap semata-mata sebagai kemalangan yang tak terhindarkan".

"Italia dan Malta semakin memusuhi upaya pencarian dan penyelamatan LSM, dan telah menipiskan kawasan Mediterania dari aset penyelamatan penting (seperti kapal atau perahu), dengan beberapa yang baru-baru ini disita," Amnesty International menambahkan.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Peningkatan Angka Penghuni Detensi Imigrasi di Libya

Kenaikan jumlah kematian di laut bertepatan dengan jumlah imigran yang ditahan di pusat-pusat penahanan di Libya yang melonjak, dari 4.400 pada bulan Maret menjadi lebih dari 10.000, kata Amnesty International, mengutip data dari DCIM, direktorat di Kementerian Dalam Negeri Libya.

Ini, kata Amnesty, disebabkan karena kebijakan Eropa dan Italia yang memungkinkan penjaga pantai Libya untuk menyelamatkan orang dan membawa mereka kembali ke negara Afrika itu. Bukannya diperlakukan dengan baik, Amnesty menuduh bahwa otoritas Libya memperlakukan para imigran dengan tindakan tak manusiawi dan sarat akan kekerasan.

"Meskipun demikian," kata laporan itu, "Italia dan Uni Eropa memperkuat kebijakan mereka mendukung penjaga pantai Libya untuk memastikan mencegah imigran yang berangkat dan melakukan intersepsi terhadap pengungsi dan migran di laut lepas untuk menarik mereka kembali ke Libya."

Insiden terparah tahun ini terjadi pada Juni 2018, ketika kapal lembaga swadaya masyarakat Aquarius yang berpenumpang 600 imigran, dihalau oleh otoritas Italia. Aparat bertindak di bawah kerangka kebijakan anti-imigran yang digagas oleh pemerintah Negeri Pisa yang populis.

Kapal itu, yang dalam perjalanan ke Sisilia, terperangkap dalam kebuntuan antara Italia dan Malta setelah kedua negara itu menolak untuk mengizinkannya berlabuh.

Hal itu memicu kecaman internasional yang menganggap Italia dan Malta tak mengindahkan prinsip keselamatan orang di laut.

Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mengatakan bahwa negara-negara Uni Eropa perlu mengambil langkah lebih lanjut dalam menghadapi masalah pengungsi.

Lembaga dunia yang berkedudukan di New York itu juga memperingatkan bahwa sebab akibat yang terkait isu pengungsi, bukanlah urusan beberapa negara, melainkan kesluruhan masyarakat Eropa.