Liputan6.com, New York - Rusia dan China, pada Kamis 9 Agustus 2018, menghadang usaha Amerika Serikat untuk menjatuhkan sanksi PBB terbaru terkait Korea Utara.
Dalam sanksi teranyar yang diusulkan, AS menambahkan sebuah bank Rusia, seorang pejabat Korea Utara dan dua perusahaan Korea Utara ke dalam daftar sanksi DK PBB.
Para diplomat mengatakan, pekan lalu, AS meminta Komite Sanksi PBB untuk membekukan aset-aset Agrosoyuz Commercial Bank yang dituduh membantu Korea Utara menghindari sanksi-sanksi PBB yang menyangkut transaksi keuangan.
Advertisement
Proposal sanksi AS itu juga menyasar Ri Jong-won, wakil kepala Bank Perdagangan Luar Negeri Korea Utara dan dua buah perusahaan cangkang Korea Utara. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (11/8/2018).
Utusan Rusia di PBB menyatakan ragu, sementara China menyatakan keberatan atas sanksi-sanksi terkait Korea Utara yang diajukan AS lewat Komite Sanksi PBB itu.
Baca Juga
Permintaan penjatuhan sanksi baru dari AS itu menyusul keputusan Kementerian Keuangan Amerika Serikat untuk mengenakan sanksi secara unilateral terhadap bank Rusia tadi, pejabat Korea Utara dan dua perusahaan cangkang negara itu.
Rusia dan China sebaliknya menyerukan kepada Dewan Keamanan PBB supaya melonggarkan sanksi-sanksi terhadap Korea Utara karena Pyongyang telah bersedia membuka dialog dengan AS dan menghentikan percobaan-percobaan rudalnya.
Tapi pemerintahan Presiden Trump menyerukan supaya "tekanan maksimum" atas Korea Utara terus dipertahankan sampai negara itu sepenuhnya membongkar semua fasilitas nuklir dan rudal balistiknya.
Penasihat Keamanan Nasional John Bolton dalam sebuah wawancara dengan Fox News Channel, Selasa 7 Agustus, mengatakan bahwa AS akan terus menerapkan tekanan ekonomi sampai Pyongyang menghasilkan bukti komitmennya. "Rencana bahwa kami akan mengendurkan sanksi tidak lebih dari pernyataan Korea Utara, di mana saya pikir bukahlah hal utama yang dipertimbangkan dalam kondisi seperti sekarang ini," katanya.
Â
Simak video pilihan berikut:
Korea Utara Disebut Kerap Tolak Proposal AS untuk Denuklirisasi
Laporan investigasi oleh situs berita Vox menyebut bahwa Korea Utara telah berulang kali menolak proposal denuklirisasi yang diajukan Amerika Serikat (AS).
Dalam laporan yang dirilis pada Rabu 8 Agustus 2018 itu, disebutkan pula bahwa rentang waktu bagi Pyongyang memangkas persenjataan nuklir sebesar 60-70 persen dalam enam atau delapan bulan ke depan, dan menyerahkan hulu ledaknya ke pihak ketiga.
Sebagai gantinya, Vox melaporkan, AS akan mencabut sanksi ekonomi dan menghapus Korea Utara dari daftar sponsor negara terorisme.
Mengutip dua sumber anonim yang akrab dengan isu terkait, Vox melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo telah membuat tawaran kepada mitranya dari Korea Utara Kim Yong-chol berkali-kali, namun hampir selalu ditolak.
Sebagaimana dikutip dari South China Morning Post pada Kamis 9 Agustus 2018, hampir dua bulan setelah pertemuan bersejarah antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di Singapura pada 12 Juni, negosiasi denuklirisasi antara kedua negara dinilai gagal dalam beberapa hal.
Tak lama setelah pertemuan bersejarah tersebut, Presiden Trump sempat berujar di Twitter bahwa "Tidak ada lagi Ancaman Nuklir dari Korea Utara".
Namun, dalam memberi kesaksian di hadapan Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS pada akhir Juni, Pompeo mengakui bahwa Korea Utara masih memproduksi bahan nuklir, meskipun telah disepakati janji untuk denuklirisasi.
Advertisement