Liputan6.com, Beijing - China dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk membantu rezim Presiden Bashar Al Assad dalam perang berkepanjangan yang terjadi di Suriah. Ini menandai pergeseran bagi kebijakan luar negeri Tiongkok, yang telah lama menghindari intervensi dalam konflik militer di negara lain.
Seperti dikutip dari The Daily Beast (12/8/2018), pada 1 Agustus, Dubes China untuk Suriah Qi Qianjin mengatakan kepada kantor berita Al Watan milik pemerintah Suriah bahwa "militer (China) berniat untuk berpartisipasi bersama dengan tentara Suriah guna memerangi teroris di Idlib dan beberapa wilayah lain di Suriah."
Sementara itu, Atase Militer Kedutaan China di Suriah, Wong Roy Chang mengatakan bahwa kerja sama antara tentara Tiongkok dengan Suriah "tengah berlangsung."
Advertisement
"Kami --China dan tentara-- berharap untuk mengembangkan hubungan kita dengan tentara Suriah, berpartisipasi dalam operasi di Idlib. Namun, ini semua membutuhkan keputusan politik," lanjut Wong.
Baca Juga
Ini menandai pergeseran signifikan dari kebijakan non-intervensi China yang telah lama diterapkan dan mengisyaratkan pergeseran besar dalam geopolitik regional. Kendati demikian, 'campur tangan' China dalam Perang Suriah sejatinya telah lama terjadi, namun, terbatas pada tataran diplomatik.
Ketika Perang Suriah berkecamuk, China mendukung Rusia --sekutu Presiden Suriah Bashar Al Assad-- dengan memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang akan membawa pembatasan lebih besar terhadap konflik tersebut. Langkah China yang turut menggunakan hak veto-nya menandai perubahan dari kebiasaan abstain Tiongkok dalam voting DK PBB.
Â
Simak video pilihan berikut:
Alasan China Mempertimbangkan Intervensi di Suriah
Ada tiga alasan potensial yang mendorong Tiongkok untuk mengubah kebijakan non-intervensi selama puluhan tahun guna terlibat dalam intervensi di negara Timur Tengah seperti Suriah.
Pertama, keinginan Pemimpin China Xi Jinping untuk memodernisasi serta mengintensifikasi proyeksi kekuatan militer China (PLA) di berbagai kawasan.
"Tentara China perlu mengembangkan dan memperdalam kemampuan mereka untuk terlibat dalam pertempuran yang sebenarnya," kata Abigail Grace, Pene;iti Program Keamanan Asia-Pasifik di lembaga think-tank Center for a New American Security yang berbasis di Washington DC, kepada The Daily Beast.
"Latihan saja tak cukup bagi tentara China untuk mencapai kualitas militer yang diperlukan guna mencapai target modernisasi militer."
Itulah salah satu alasan mengapa China secara dramatis meningkatkan partisipasinya dalam misi pemeliharaan perdamaian PBB. Pada 2015, Xi Jinping berkomitmen meningkatkan jumlah personel PLA hingga mencapai 8.000 pasukan, atau 20 persen dari total pasukan pemelihara perdamaian PBB.
"Militer China membutuhkan medan pertempuran di luar lingkungan terdekatnya untuk menguji peralatan dan kemampuan," kata Andrew Small, pascasarjana program Marshall Fund's Asia di Jerman.
Alasan kedua yang mendorong Tiongkok terlibat dalam intervensi militer di Suriah adalah, melakukan operasi kontra-teroris demi membendung kemungkinan semakin berkembangnya gerakan ekstremisme di dalam negeri.
China, selama tahun-tahun terakhir, tengah menghadapi pemberontakan yang dilancarkan oleh etnis minoritas Uighur Turki di barat laut Tiongkok. Dalam beberapa tahun belakangan, radikalisme telah menarik sejumlah kecil orang Uighur untuk mendirikan Partai Islam Turkistan (TIP) --sebuah partai Islam yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan dan memisahkan diri dari China.
Beijing memandang TIP sebagai ancaman, dan beberapa ribu pejuang TIP telah mengalir ke Idlib dalam beberapa tahun terakhir.
"Ada sejumlah orang Tionghoa beserta keluarga mereka yang terafiliasi dengan TIP, berada di sebuah desa di luar Idlib ... Mereka memiliki pengalaman perang dan militansi," kata Randa Slim, direktur resolusi konflik di Middle East Institute, kepada The Daily Beast.
"Hal ini jadi kepentingan China, agar 'masalah' itu tetap di Suriah," kata Slim, menambahkan bahwa ini berarti "Tiongkok tengah megupayakan agar militan TIP terbunuh atau ditangkap, dan tidak kembali ke China."
Dan alasan ketiga yang mendorong Tiongkok terlibat dalam intervensi militer di Suriah adalah, keinginan untuk memperoleh berbagai kontrak militer dan infrastruktu yang menguntungkan, yang sejauh ini sebagian besar telah disapu oleh perusahaan-perusahaan Rusia dan Iran --keduanya merupakan sekutu terdekat Presiden Suriah Bashar Al Assad.
Proyek renovasi atau pembangunan sejumlah infrastruktur yang rusak akibat perang, seperti jembatan, jalan, sekolah, rumah sakit, dan gedung-gedung pemerintah, semuanya mewakili peluang rekonstruksi potensial bagi perusahaan-perusahaan konstruksi yang giat, yang cukup beruntung untuk mendapatkan kontrak.
Ketika konflik benar-benar selesai, perusahaan-perusahaan Rusia dan Iran telah berhasil meneken kontrak-kontrak yang menguntungkan dengan Damaskus untuk rekonstruksi infrastruktur. Perusahaan-perusahaan China, sejauh ini, berada di prioritas ketiga di belakang kedua negara tersebut, meskipun investasi infrastruktur menjadi keahlian Beijing.
Keterlibatan China di Suriah, "membuat mereka memiliki kepentingan yang lebih besar dalam kontrak rekonstruksi berikutnya," dengan Bashar Al Assad, kata Randa Slim, direktur resolusi konflik di Middle East Institute.
Advertisement