Sukses

Langgar Sanksi PBB, Batu Bara dan Besi Korea Utara Masuk Ilegal ke Korea Selatan

Korea Selatan menyatakan, tiga perusahaan Korsel diduga melanggar sanksi PBB karena mengimpor batu bara dan besi dari Korea Utara tahun lalu.

Liputan6.com, Seoul - Pemerintah Korea Selatan, pada Jumat (10/8) menyatakan, tiga perusahaan setempat diduga melanggar sanksi-sanksi PBB karena mengimpor hampir 35 ribu ton batu bara dan besi bernilai hampir US$ 6 juta dari Korea Utara tahun lalu.

Badan Bea Cukai Korea Selatan mengungkapkan hasil investigasi 10 bulan mengenai impor itu, pada Jumat 10 Agustus dan menyatakan akan memproses hukum para eksekutif perusahaan tersebut karena menyelundupkan atau memalsukan dokumen-dokumen untuk menyatakan barang-barang Korea Utara itu berasal dari Rusia.

Laporan itu menyebutkan batu bara atau besi mentah diimpor tujuh kali antara April dan Oktober 2017 ke lima pelabuhan Korea Selatan. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (13/8/2018).

Proses ini melibatkan tiga negara. Bata bara Korea Utara itu mula-mula dikirim ke Rusia, kemudian dimuat ke kapal-kapal yang menuju Korea Selatan.

PBB melarang ekspor batu bara dan barang-barang tambang Korea Utara lainnya pada Agustus 2017. Penjualan barang tambang Korea Utara menghasilkan pendapatan yang mendukung negara itu untuk membiayai program rudalnya.

Laporan tersebut dirilis di tengah upaya Seoul untuk mempererat hubungan dengan Pyongyang, demi harapan potensi kerja sama ekonomi dan investasi di Korea Utara begitu sanksi-sanksi terhadap Pyongyang dicabut.

Laporan ini muncul setelah PBB dalam laporan pekan lalu menuduh Korea Utara menghindari sanksi-sanksi dengan terus mengekspor batu bara, besi dan berbagai komoditas lainnya serta memindahkan produk minyak secara ilegal dari kapal ke kapal.

Upaya-upaya diplomatik yang lebih besar untuk melucuti senjata Korea Utara sedang berlangsung, sementara masyarakat global mempertahankan tekanan maksimum terhadap Korea Utara. Pyongyang telah mengecam tuntutan Amerika agar sanksi-sanksi itu tetap berlaku hingga negara itu melucuti senjata nuklirnya.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Rusia dan China Hadang Usaha AS untuk Jatuhkan Sanksi Baru Terkait Korut

Rusia dan China, pada Kamis 9 Agustus 2018, menghadang usaha Amerika Serikat untuk menjatuhkan sanksi PBB terbaru terkait Korea Utara.

Dalam sanksi teranyar yang diusulkan, AS menambahkan sebuah bank Rusia, seorang pejabat Korea Utara dan dua perusahaan Korea Utara ke dalam daftar sanksi DK PBB.

Para diplomat mengatakan, pekan lalu, AS meminta Komite Sanksi PBB untuk membekukan aset-aset Agrosoyuz Commercial Bank yang dituduh membantu Korea Utara menghindari sanksi-sanksi PBB yang menyangkut transaksi keuangan.

Proposal sanksi AS itu juga menyasar Ri Jong-won, wakil kepala Bank Perdagangan Luar Negeri Korea Utara dan dua buah perusahaan cangkang Korea Utara. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia.

Utusan Rusia di PBB menyatakan ragu, sementara China menyatakan keberatan atas sanksi-sanksi terkait Korea Utara yang diajukan AS lewat Komite Sanksi PBB itu.

Permintaan penjatuhan sanksi baru dari AS itu menyusul keputusan Kementerian Keuangan Amerika Serikat untuk mengenakan sanksi secara unilateral terhadap bank Rusia tadi, pejabat Korea Utara dan dua perusahaan cangkang negara itu.

Rusia dan China sebaliknya menyerukan kepada Dewan Keamanan PBB supaya melonggarkan sanksi-sanksi terhadap Korea Utara karena Pyongyang telah bersedia membuka dialog dengan AS dan menghentikan percobaan-percobaan rudalnya.

Tapi pemerintahan Presiden Trump menyerukan supaya "tekanan maksimum" atas Korea Utara terus dipertahankan sampai negara itu sepenuhnya membongkar semua fasilitas nuklir dan rudal balistiknya.

Penasihat Keamanan Nasional John Bolton dalam sebuah wawancara dengan Fox News Channel, Selasa 7 Agustus, mengatakan bahwa AS akan terus menerapkan tekanan ekonomi sampai Pyongyang menghasilkan bukti komitmennya. "Rencana bahwa kami akan mengendurkan sanksi tidak lebih dari pernyataan Korea Utara, di mana saya pikir bukahlah hal utama yang dipertimbangkan dalam kondisi seperti sekarang ini," katanya.