Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menginginkan "gencatan senjata penuh" dengan Hamas, organisasi perjuangan kemerdekaan Palestina yang menjadi penguasa de facto Jalur Gaza, menyusul meruncingnya konflik antara kedua belah pihak selama beberapa waktu terakhir.
Hal itu disampaikan Netanyahu pada Minggu, 12 Agustus 2018, beberapa saat sebelum dia memulai rapat kabinet.
Menggarisbawahi meruncingnya konflik di area perbatasan Israel-Gaza, Netanyahu berkomentar, "Kita berada di tengah kampanye melawan teror (Hamas) di Gaza. Telah terjadi sejumlah aksi balas-membalas serangan, dan ini tidak akan berhenti."
Advertisement
Menyikapi hal tersebut, Netanyahu mengatakan, "Tuntutan kami jelas," ujarnya. Dia kemudian melanjutkan, "Gencatan senjata penuh (dengan Hamas)." Demikian seperti dikutip dari The Jerusalem Post, Senin (13/8/2018).
Baca Juga
"Tujuan kami adalah untuk mengembalikan perdamaian bagi para penduduk di selatan (Israel) dan wilayah sekitarnya (yang berbatasan dengan Gaza). Tujuan ini akan digapai secara penuh," dia menambahkan.
Prakarsa gencatan senjata itu muncul setelah rangkaian aksi balas-membalas serangan udara terbaru yang dilakukan oleh Hamas dan Israel pada Rabu hingga Kamis, 8-9 Agustus 2018 --menewaskan tiga orang, termasuk seorang anak dan ibu hamil.
Hamas mengklaim bahwa gencatan senjata itu telah dicapai pada pertengahan pekan lalu, berkat langkah diplomatik Mesir dan komunitas internasional. Kendati demikian, pihak Israel menyanggah telah menyepakati gencatan senjata dengan pihak Hamas yang dimediasi oleh Mesir pada pertengahan pekan lalu --hingga akhirnya hal tersebut benar-benar dibahas oleh kabinet Netanyahu pada 12 Agustus. Demikian seperti dikutip dari Haaretz.
Di tengah simpang-siur mengenai kabar gencatan senjata itu, sejak Kamis hingga akhir pekan ini, tak ada laporan mengenai serangan udara yang dilancarkan oleh Hamas maupun Israel --walaupun ada beberapa kabar mengenai drone Israeli Defense Forces (IDF) yang terbang di wilayah Gaza demi menyisir potensi "ancaman", menurut pihak IDF.
Meski tak ada serangan udara, demonstrasi rutin warga Gaza di perbatasan Israel per hari Jumat, tetap digelar. Menurut kabar, hal itu dilaksanakan sebagai bentuk protes atas serangan misil Israel pada Rabu malam lalu. Demonstrasi Jumat, 10 Agustus lalu menewaskan tiga pria Palestina dan sekitar 130 orang terluka.
Mereka yang meninggal dalam demonstrasi Jumat, 10 Agustus lalu menjadikan angka orang Palestina yang tewas bertambah hingga setidaknya 168 jiwa. Sebagian besar tewas akibat bentrokan berdarah "The Great March of Return" yang rutin digelar di perbatasan Gaza-Israel pada Jumat setiap pekan sejak Maret 2018. Sementara sisanya, tewas akibat serangan udara Israel.
Berbulan-bulan ketegangan akibat protes dan bentrokan di sepanjang perbatasan Gaza, telah menimbulkan kekhawatiran akan perang keempat antara Israel dengan Hamas Palestina --yang mana konflik bersenjata terbuka terjadi terakhir kali pada 2008.
Simak video pilihan berikut:
Upaya Diplomatik untuk Meredam Konflik
Mesir dan PBB, sejauh ini terus mengejar upaya menuju gencatan senjata permanen, yang akan mencakup rekonsiliasi dari faksi Hamas dan Fatah (penguasa de facto Tepi Barat Palestina, atau Palestinian Authority, yang diakui internasional), serta paket ekonomi untuk rehabilitasi Gaza.
Negeri Piramida itu berharap untuk mengadakan pembicaraan terpisah pekan ini di Kairo dengan Hamas dan perwakilan Fatah sebagai bagian dari desakan untuk mempengaruhi Hamas untuk menyerahkan kendali atas Jalur Gaza kepada Otoritas Palestina.
Di lain pihak, Nickolay Mladenov, utusan PBB untuk konflik Timur Tengah yang telah berusaha untuk menegosiasikan gencatan senjata jangka panjang antara Israel dan Hamas, mengatakan "sangat khawatir" dan menyerukan kepada semua pihak untuk "melangkah mundur dari tepi jurang" --isyarat agar mereka menahan diri.
"Selama berbulan-bulan saya telah memperingatkan bahwa krisis kemanusiaan, keamanan dan politik di Gaza berisiko memicu konflik, dan menghancurkan yang tidak diinginkan," katanya dalam sebuah pernyataan.
"Upaya kolektif kami telah mencegah situasi meledak sampai sekarang. Jika eskalasi saat ini tidak segera berhenti, situasi dapat dengan cepat memburuk dengan konsekuensi yang menghancurkan bagi semua orang."
Advertisement