Sukses

Penasihat Presiden Palestina: Jangan Ada Perundingan Tersembunyi Antara Hamas-Israel

Pejabat senior Palestina mengimbau agar proses perundingan seputar gencatan senjata Hamas-Israel di Jalur Gaza harus berkoordinasi dengan pemerintah Palestina.

Liputan6.com, Jakarta - Pejabat senior Palestina mengimbau agar proses perundingan seputar gencatan senjata dan prospek perdamaian antara Hamas dan Israel di Jalur Gaza harus dilaksanakan "di bawah payung" Palestinian Liberation Organization (PLO) dan berkoordinasi dengan pemerintah Palestina.

Mahmoud al-Habbash, Penasihat Presiden Palestina Mahmoud Abbas, juga mengimbau agar "tak ada pertemuan tersembunyi antara pihak Hamas dan Israel soal negosiasi terkait kondisi terkini di Jalur Gaza" dan mendesak agar kegiatan semacam itu, harus dikoordinasikan dengan Palestinian Authority (PA) --pemerintahan Negara Palestina.

Sebagai latar belakang, PLO merupakan perhimpunan berbagai faksi politik yang didominasi oleh Fatah --organisasi politik dan gerakan perjuangan kemerdekaan Palestina yang berkedudukan di teritori Palestina di Tepi Barat.

PLO menjalankan PA, pemerintahan de jure Negara Palestina (State of Palestine) yang diakui PBB serta ratusan negara, dan berkedudukan di Ramallah, Tepi Barat (West Bank).

Sebagai organisasi yang diberi status observer oleh PBB, PLO yang didominasi Fatah mengklaim sebagai 'representasi yang sah bagi rakyat Palestina'.

Sementara itu, Hamas merupakan organisasi politik dan gerakan perjuangan kemerdekaan Palestina yang menjadi penguasa teritori Palestina di Jalur Gaza. Hamas mengendalikan Gaza sejak merebut teritori tersebut dari tangan Fatah pada 2007.

Meruncingnya konflik berdarah antara Hamas-Israel dalam beberapa bulan terakhir di area perbatasan Gaza --yang memuncak pekan lalu ketika masing-masing pihak melakukan aksi balas-membalas serangan udara dan menewaskan sejumlah orang-- memicu keduanya untuk mengupayakan kemungkinan gencatan senjata dan prospek perdamaian.

Beberapa media di kawasan Arab pun telah mengabarkan bahwa Hamas dan Israel hampir mencapai perjanjian gencatan senjata jangka panjang di bawah naungan Mesir dan PBB.

Mesir dan PBB juga tengah mengupayakan perdamaian antara Hamas dan Fatah.

Mengomentari hal tersebut, Mahmoud al-Habbash mendiskreditkan upaya negosiasi Hamas-Israel dan mengimbau agar penguasa de facto Jalur Gaza itu "tetap haru bernegosiasi di bawah naungan PLO dan PA".

"Hamas adalah salah satu faksi yang penting di Palestina, dan hal itu diakui oleh pemerintah (di Ramallah). Tapi, jika ingin bernegosiasi dengan Israel, seharusnya dilakukan di bawah payung PLO dan PA," jelas Habbash di Jakarta, Rabu (15/8/2018).

"Sangat berbahaya sebetulnya, jika pihak Israel mengadakan pertemuan tersembunyi dengan faksi politik Palestina tanpa sepengetahuan pemerintahan di Ramallah. Karena, hal tersebut bisa menghancurkan kesatuan warga Palestina," tambahnya.

"Akan lebih baik bagi Hamas jika bisa membantu warga Palestina, termasuk yang berada di Gaza, dengan sepenuh hati bekerjasama dengan PLO, ketimbang Hamas melakukannya secara independen (tanpa PLO)," lanjutnya.

Kendati demikian, Habbash tetap mengapresiasi prakarsa Mesir dan PBB yang bertindak sebagai mediator konflik Hamas-Israel.

"Kami mendukung pihak Mesir dalam mengembalikan Gaza sepenuhnya kepada (Negara) Palestina," jelas Habbash.

 

*Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Mesir Undang Berbagai Faksi Politik Palestina untuk Berdialog

Komentar Mahmoud al-Habbash, Penasihat Presiden Palestina Mahmoud Abbas, muncul di tengah keberangkatan berbagai faksi Palestina di Jalur Gaza ke Kairo pada Selasa 14 Agustus untuk melaksanakan pembicaraan bersama para pejabat intelijen Mesir tentang kemungkinan mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Israel, dan mengakhiri pergulatan kekuasaan antara Hamas-Fatah.

Perwakilan faksi diundang oleh otoritas Mesir dalam bagian upaya berkelanjutan Kairo guna meredam konfrontasi militer antara Hamas dengan Israel, serta membujuk Hamas dan Fatah untuk menyetujui pembentukan pemerintahan Palestina yang bersatu. Demikian seperti dikutip dari The Jerusalem Post.

Selain Hamas --yang merupakan penguasa de facto Jalur Gaza-- sejumlah faksi yang turut bertolak ke Kairo antara lain: Palestinian Islamic Jihad, the Popular Resistance Committees of Palestine, al-Ahrar, al-Mujahideen, Popular Front for the Liberation of Palestine, dan Democratic Front for the Liberation of Palestine. Kebanyakan dari mereka, merupakan organisasi perjuangan kemerdekaan Palestina yang berbasis di Gaza.

Sementara itu, sepekan sebelum dialog di Kairo mulai, sebuah delegasi Fatah yang dipimpin oleh Azzam al-Ahmad turut mengadakan pembicaraan bersama di Kairo bersama dengan para mediator Mesir.

Dalam dialog pekan lalu, Fatah dan Mesir membahas tentang gencatan senjata yang diusulkan oleh Israel, serta perselisihan yang sedang berlangsung antara Negeri Bintang David dengan Hamas di Jalur Gaza. Tidak jelas apakah para pejabat Fatah akan berpartisipasi dalam diskusi baru.

Di sisi lain, para pemimpin Hamas telah memberitahu Mesir bahwa perjanjian gencatan senjata dengan Israel harus diambil oleh semua faksi Palestina, dan tidak hanya Hamas, ujar sejumlah sumber seperti dikutip dari The Jerusalem Post.

Hal yang sama berlaku untuk upaya mengakhiri keretakan Hamas-Fatah, kata sumber-sumber itu, seraya menambahkan bahwa Hamas tidak ingin dilihat sebagai perusak kesepakatan dengan Israel atau Fatah.

Pejabat senior Hamas Izzat al-Risheq, pada Selasa lalu mengatakan, diskusi di Kairo terutama difokuskan pada upaya untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Israel.

Faksi Palestina juga mengadakan konsultasi dengan satu sama lain dan dengan pejabat intelijen Mesir tentang cara untuk mencapai "rekonsiliasi nasional" antara Hamas dan Fatah, kata al-Risheq.

Husam Badran, pejabat senior Hamas lainnya, mengatakan kelompoknya siap untuk mengakhiri perselisihannya dengan Fatah berdasarkan perjanjian rekonsiliasi 2011 yang ditandatangani antara kedua pihak.

Badran mengacu pada perjanjian Hamas-Fatah yang ditandatangani di Kairo pada 3 Mei 2011, di mana kedua belah pihak sepakat untuk membentuk pemerintahan konsensus nasional. Kesepakatan itu juga menyerukan diadakannya pemilihan presiden dan parlemen jangka panjang dalam satu tahun.

Namun, Hamas dan Fatah gagal melaksanakan perjanjian itu dan yang serupa yang ditandatangani di Kairo pada Oktober 2017.

Kedua pihak yang bersaing terus saling melontarkan tuduhan kepada satu sama lain atas kegagalan perjanjian-perjanjian tersebut.

Fatah mengatakan, penolakan Hamas untuk menyerahkan kendali atas Jalur Gaza ke PA yang berbasis di Ramallah tetap menjadi kendala utama yang menghambat pelaksanaan perjanjian.

Di sisi lain, Hamas, telah menuduh pemerintah PA gagal untuk mengangkat sanksi ekonomi yang diberlakukan di Jalur Gaza tahun lalu.