Sukses

Orang Yahudi dan Arab Gelar Demo Bersama di Israel, Tolak UU Negara Bangsa Yahudi

Lebih dari 30.000 orang Arab dan Yahudi menyuarakan penentangan mereka terhadap undang-undang negara bangsa Yahudi yang kontroversial.

Liputan6.com, Tel Aviv - Lebih dari 30.000 orang turun ke jalan-jalan di Tel Aviv selama akhir pekan kemarin untuk menyuarakan penentangan mereka terhadap undang-undang "negara bangsa" Yahudi yang kontroversial.

Orang Arab, Druze dan Yahudi melambai-lambaikan bendera Palestina dan berteriak dan bernyanyi dalam bahasa Arab serta Ibrani di Rabin Square pada Sabtu malam 11 Agustus, menentang undang-undang tersebut --yang telah dijuluki sebagai "hukum apartheid" oleh politisi Israel berdarah Arab atau Arab-Israel.

"Undang-undang itu melegitimasi rasisme," kata Laila al Sana, lelaki berusia 19 tahun dari sebuah desa Badui di gurun selatan Negev di Israel, seperti dikutip dari The Independent, Rabu (15/8/2018).

"Sangat penting untuk menunjukkan bahwa kehadiran kami di sini adalah untuk melawan (undang-undang tersebut)," katanya.

Undang-undang yang disahkan bulan lalu oleh Knesset (Parlemen Israel) dirancang untuk memperkuat identitas Israel sebagai "rumah nasional dari orang-orang Yahudi".

Naskah itu secara luas dikecam oleh para kritikus di dalam dan luar negeri, karena dianggap diskriminatif terhadap 20 persen populasi Arab yang tinggal di Israel. Meski telah lama diprotes, demonstrasi masalah baru terjadi pekan lalu.

Para kritikus mengatakan, undang-undang itu "mengingkari" prinsip kesetaraan sipil sebagaimana yang diabadikan dalam hukum Israel, karena membedakan antara warga Yahudi dan non-Yahudi.

Di antara langkah-langkah lain, hukum itu menurunkan peringkat bahasa Arab dari bahasa resmi menjadi "bahasa berstatus khusus" dan mendorong ekspansi pemukiman di Tepi Barat.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan protes akhir pekan itu membuktikan perlunya pemerintah untuk mengesahkan undang-undang itu.

"Kemarin kami menerima bukti yang jelas tentang perlawanan terhadap keberadaan Negara Israel, dan oleh karenanya semakin jelas bahwa kami membutuhkan undang-undang (negara bangsa Yahudi) tersebut," kata Netanyahu pada pertemuan kabinet pada hari Minggu.

"Kami melihat bendera PLO (Palestinian Liberation Organization) --organisasi yang menjalankan pemerintah Negara Palestina-- di jantung Tel Aviv. Di jantung Tel Aviv!," protes Netanyahu.

"Saya juga mendengar slogan dalam bahasa Arab termasuk 'Dengan darah dan api, kami akan membantu Palestina'. Banyak dari para demonstran ingin mencabut hukum the law of return (yang memberi orang Yahudi hak untuk beremigrasi ke Israel), mereka ingin menghapuskan lagu kebangsaan dan bendera, dan mengubah Israel menjadi negara Palestina.

"Sekarang semakin jelas bahwa hukum negara negara diperlukan untuk menjamin masa depan Israel sebagai negara Yahudi," tambahnya.

Protes yang sebagian besar dipimpin pada hari Sabtu mengikuti demonstrasi besar lain yang diselenggarakan oleh komunitas minoritas Druze di Israel pekan sebelumnya.

Sebagian kecil masyarakat Israel --sekitar 120.000 orang-- adalah Muslim dan berbahasa Arab, tetapi telah mendapatkan reputasi sebagai "kelompok minoritas percontohan" negara itu, karena dukungan mereka terhadap negara dan kemauan untuk melayani di militer.

Politisi Druze yang terkenal telah berjanji untuk mengajukan gugatan hukum terhadap undang-undang tersebut. Sementara sejumlah orang Druze yang menjadi perwira tinggi militer Israel dikabarkan turut mengecam naskah itu.

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Undang-undang yang Bersifat Diskriminatif

Seorang pengamat menilai, wajar jika terjadi penolakan dari sejumlah orang Yahudi di Israel terhadap 'undang-undang negara bangsa Yahudi' yang disahkan oleh parlemen Negeri Bintang David.

"Tak semua orang Yahudi setuju, termasuk saya, terhadap undang-undang tersebut. Kami megkritik sejumlah aspek yang ada di dalamnya," kata Philip Rosenberg, Direktur Urusan Publik dari The Board of Deputies of British Jews --badan perwakilan Yahudi di Inggris-- kepada sejumlah wartawan di sela the 7th World Peace Forum yang diselenggarakan oleh Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) di Jakarta, 15 Agustus 2018.

"Meski kami --orang Yahudi-- mendambakan adanya negara Israel yang merdeka buat orang Yahudi, tapi, bukan berarti undang-undang itu bisa melegitimasi diskriminasi terhadap orang, etnis, ras, bangsa, dan agama lain yang ada di Israel. Mereka, apapun latar belakangnya, harus dihargai. Dan kami merasa undang-undang tersebut tak merepresentasikan prinsip tersebut," jelasnya.

Rosenberg menilai, mereka yang melakukan penolakan terhadap undang-undang tersebut adalah komunitas Yahudi yang "berhaluan sekuler ... mereka paham akan apa yang sebenarnya terjadi di Israel dan di Palestina, memiliki kesadaran akan prinsip internasionalisme, serta yang menghargai keadilan antara sesama bangsa."

Sementara, mereka yang menyetujui undang-undang tersebut adalah komunitas Yahudi yang "memiliki akar kuat terhadap konsep 'Yahudi sebagai bangsa dan negara'."

Menjelaskan mengapa undang-undang itu "mendadak dibuat oleh pemerintah Israel," Rosenberg menjelaskan, "Mereka menyikapi dinamika politik terkini di kawasan."

"Mereka (pemerintah Israel) ingin menyampaikan semacam pesan bahwa mereka berada di posisi yang lebih kuat dari sebelumnya," ujar Rosenberg yang mengindikasikan intensitas dukungan AS terhadap Israel belakang waktu terakhir.

"Ini juga bisa dilihat bahwa mereka tengah semakin menutup diri, merespons betapa banyak tekanan dari komunitas internasional terhadap apa yang terjadi di Israel, terkhusus pada bagaimana cara mereka menyikapi Palestina," tambahnya.