Liputan6.com, Jakarta - Gunung Anak Krakatau dilaporkan erupsi sebanyak 576 kali pada 18 Agustus 2018. Tinggi letusan tercatat 100-500 meter.
Meski demikian, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan bahwa status gunung berapi yang berada di Selat Sunda ini masih Waspada (Level 2). Jalur penerbangan dan pelayaran pun dinyatakan aman.
Sedangkan zona berbahaya ditetapkan dalam radius 2 kilometer. Meski letusan dari erupsi Gunung Anak Krakatau disebut tidak besar, namun disertai dengan lontaran abu, pasir, lava pijar dan suara dentuman keras.
Advertisement
Namun tahukah Anda, sebelum masuknya era teknologi modern nan canggih, banyak korban tewas akibat letusan gunung berapi. Bahkan sampai mengubur seluruh kota dalam hitungan menit.
Baru-baru ini, gunung berapi menjadi pembahasan utama di banyak media internasional, setelah Volcan de Fuego yang berada di Guatemala mengalami erupsi. Sedikitnya 62 orang dikabarkan tewas dan melukai puluhan lainnya.
Gunung berapi lainnya, yakni Gunung Kilauea di Hawaii, telah memuntahkan abu dan lahar selama hampir satu bulan. Meski tidak menelan korban jiwa, namun sebagaian besar rumah yang berada di pulau tersebut luluh lantak dan warganya diungsikan.
Sepanjang sejarah dunia, sejumlah letusan gunung berapi menyebabkan jatuhnya korban dalam jumlah mengerikan. Mengutip Usa Today, Senin (20/8/2018), inilah 5 tragedi mematikan tersebut.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Saksikan video pilihan berikut ini:
1. Gunung Tambora, Indonesia (1815)
Letusan gunung berapi terbesar yang tercatat dalam sejarah dunia adalah Gunung Tambora, sebuah stratovolcano aktif (gunung berapi yang terbentuk dari lapisan alternatif lava dan abu) di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia.
Ketika meletus dengan dahsyat pada April 1815, besar letusan ini masuk ke dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan jumlah semburan tefrit sebesar 1,6 × 1011 meter kubik.
Karakteristik letusannya menyebabkan terjadinya aliran piroklastik (hasil letusan gunung berapi yang bergerak dengan kecepatan 700 km/jam dan terdiri dari gas panas, abu vulkanik, dan bebatuan), korban jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera.
Letusan ini juga memengaruhi iklim global dalam waktu yang lama. Aktivitas dari Gunung Tambora --setelah letusan tersebut-- baru berhenti pada tanggal 15 Juli 1815.
Peristiwa ini menyebabkan kematian hingga tidak kurang dari 71.000 orang, dengan 11.000—12.000 di antaranya terbunuh secara langsung akibat dari letusan tersebut. Suara guruh letusan terdengar di Makassar, Sulawesi (380 km dari Gunung Tambora), Batavia di Jawa --kini Jakarta (1.260 km dari Gunung Tambora), dan Ternate di Maluku (1400 km dari Gunung Tambora).
Pancaran cahaya langit senja berwarna orange kemerahan muncul di dekat ufuk langit London, Inggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815. Lalu pada 3 September dan 7 Oktober 1815, cahaya itu berubah jadi merah muda keunguan.
Tsunami besar menerjang beberapa pantai di Indonesia pada 10 April 1815. Tsunami setinggi lebih dari 4 meter terjadi di Sanggar, tsunami setinggi 1–2 meter di Besuki (Jawa Timur) dan tsunami setinggi 2 meter di Maluku.
Pada musim semi dan musim panas tahun 1816, sebuah kabut kering terlihat di timur laut Amerika Serikat. Kabut tersebut memerahkan dan mengurangi intensitas cahaya Matahari. Baik angin atau hujan tidak dapat menghilangkan selubung yang diidentifikasikan sebagai kabut aerosol sulfat stratosfer.
Pada musim panas tahun 1816, negara di Belahan Bumi Utara menderita karena kondisi cuaca yang berubah, disebut sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas". Temperatur normal dunia berkurang sekitar 0,4-0,7 derajat Celcius dan menyebabkan permasalahan di sektor pertanian dunia.
Pada tanggal 4 Juni 1816, cuaca dingin dilaporkan melanda Connecticut, Amerika Serikat, dan dan pada hari berikutnya, hampir seluruh New England diselimuti oleh suhu dingin ekstrem. Pada 6 Juni 1816, salju turun di Albany, New York, dan Dennysville, Maine.
Kondisi itu menyebabkan gagal panen di Amerika Utara dan Kanada. Salju setebal 30 cm terjadi di dekat Kota Quebec dari tanggal 6 sampai 10 Juni 1816. Inilah krisis pangan terparah Abad ke-19.
Sementara itu, letusan kecil Gunung Tambora terjadi pada tahun 1880 dan 1967. Aktivitas seismik terdeteksi pada tahun 2011, 2012 dan 2013.
Advertisement
2. Gunung Krakatau, Indonesia (1883)
Setelah 200 tahun "tidur", Gunung Krakatau yang berada di antara Pulau Sumatra dan Jawa ini bergeliat. Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, gunung ini meletus.
Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Oxford University di Inggris mengatakan bahwa letusan Gunung Krakatau mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern --bersamaan dengan Gunung Tambora. Suara ledakan terdengar sampai 4.600 km dari gunung dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk Bumi saat itu.
Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik hingga ke Singapura. Benda-benda yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru menurut situs Volcano World milik Oregon State University.
Tercatat jumlah korban tewas mencapai 36.417 orang, berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Merak di Kota Cilegon hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon serta Sumatera Bagian selatan.
Tsunami setinggi 40 meter pun muncul, menghancurkan desa-desa dan segala sesuatunya yang berada di pesisir pantai. Gelombang laut ini timbul bukan hanya karena letusan Gunung Krakatau, tetapi juga longsoran bawah laut.
Di Ujungkulon, tsunami menyapu daratan hingga 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak bisa melihat Matahari. Gelombang tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer dari Selat Sunda.
Sementara itu, debu yang tersisa di atmosfer menghalangi sinar Matahari dan sedikit menurunkan suhu global, termasuk di New York, Amerika Serikat.
3. Gunung Pelee, Martinique, Prancis (1902)
Gunung Pelee merupakan gunung berapi semi aktif yang berada di pesisir utara Pulau Martinique, Prancis. Gunung dengan ketinggian 1.379 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini menjadi tenar karena meletus dengan dahsyat pada Mei 1902.
Sebelum meletus, sejumlah "peringatan alam" muncul, di antaranya serangga-serangga dan gerombolan ular keluar dari sarangnya di kaki gunung. Hewan-hewan ini mulai menyerbu kota, menurut Earth Magazine.
Selain itu, para pendaki mencatat adanya kemunculan gas sulfur yang mengepul dari kawah gunung. Namun hal ini dianggap sebagai fenomena alam yang biasa, karena memang kerap terjadi.
Para 23 April, Gunung Pelee mulai menampakkan aktivitas yang lebih intens. Warga sekitar mulai merasakan getaran dari bawah tanah. Dua hari setelahnya, Gunung Pelee memuntahkan material vulkaniknya, seperti bebatuan dan asap pekat.
Keesokan harinya, wilayah gunung mulai diselubungi asap vulkanis, namun penduduk masih saja tak menganggap hal ini sebagai sebuah pertanda. Pemerintah juga menegaskan bahwa tidak akan terjadi apa-apa dengan gunung tersebut, sehingga warga bisa melanjutkan aktivitas mereka.
Memasuki bulan Mei, aktivitas Gunung Pelee mulai meningkat. Muncul beberapa kali dentuman keras yang terdengar hingga puluhan kilometer, disusul gempa Bumi berskala kecil dan asap pekat yang membumbung tinggi ke udara hingga menutupi hampir sebagian besar wilayah.
Binatang-binatang liar mulai mati kelaparan dan kehausan, karena sumber air dan makanan mereka terkontaminasi abu vulkanik.
Sehari sebelum kejadian, tepatnya sekitar pukul 04.00 waktu setempat, Gunung Pelee semakin parah. Puncaknya, pada 8 Mei 1902, gunung ini akhirnya meletus dengan hebat.
Ledakan raksasa tersebut menghasilkan awan hitam, lahar panas dan bebatuan besar yang mengubur kota Saint Pierre, hanya dalam beberapa menit. Sebanyak 30.000 orang dilaporkan meninggal, sebagian besar karena mati lemas dan terbakar akibat terkena letusan.
Delapan belas kapal yang sedang berlabuh di dermaga juga ikut hancur, beserta dengan kru yang berada di dalamnya.
Karena pengetahuan warga dan pemerintah yang terbatas kala itu, tidak ada satu pun orang yang menganjurkan agar orang-orang dievakuasi. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mengungsi ke perkotaan.
Advertisement
4. Gunung Nevado del Ruiz, Kolombia (1985)
Gunung Nevado del Ruiz adalah sebuah stratovolcano yang terletak di Armero, Kolombia, sekaligus menjadi yang tertinggi dan berada di paling utara negara tersebut.
Setahun sebelum kejadian, aktivitas gunung berapi ini sudah dicatat oleh para ahli dari seluruh dunia. Ahli geologi pun sempat datang ke Kolombia untuk mengamati Gunung Nevando del Ruiz.
Kala itu, para ilmuan percaya bahwa akan ada letusan dahsyat yang bakal terjadi. Warga yang bermukim pun sudah diperingatkan. Mereka diminta untuk mengevakuasi diri secepat mungkin.
Namun sayang, ajakan dan imbauan peneliti diabaikan oleh warga yang bermukim di kaki gunung.
Pada tanggal 13 November 1985 sore, letusan sedang sempat terjadi. Kepulan asap pun terlihat di udara. Tetapi pertanda alam ini masih dihiraukan oleh penduduk setempat.
Hingga akhirnya pada tanggal 14 November 1985, sebuah letusan berkekuatan berkali-kali lipat muncul. Lava mulai mengalir keluar dari kawah, mencairkan es glasial yang mengelilingi Gunung Nevando del Ruiz.
Tak hanya itu, letusan pada Gunung Nevando del Ruiz juga menyebabkan tanah longsor. Akibatnya, sebanyak lebih dari 25.000 orang tewas. Sebagian besar Armero terkubur abu vulkanik dan lumpur.
Letusan hari itu adalah yang paling mematikan nomor dua di sepanjang Abad ke-20 setelah erupsi Gunung Pelee.
5. Gunung Unzen, Jepang(1792)
Gunung Unzen meletus pada 21 Mei 1792. Letusan gunung yang berada di sebelah barat Pulau Kyushu, Jepang ini menyebabkan sejumlah tanah longsing parah dan gelombang tsunami besar. Jumlah korban tewas akibat bencana tersebut diperkirakan sekitar 14.000 orang.
Gunung Unzen sebenarnya terdiri dari sekelompok gunung berapi stratovolcano yang terletak di Semenanjung Shimabara. Menjelang akhir 1791, serangkaian gempa terjadi di sisi barat Gunung Unzen, yang secara bertahap bergerak menuju Fugen-dake (salah satu puncak Gunung Unzen).
Pada Februari 1792, Fugen-dake mulai meletus, memicu aliran lava yang berlanjut selama dua bulan. Sementara itu, gempa Bumi terus berlanjut, bergeser lebih dekat ke kota Shimabara.
Pada 21 Mei malam, dua gempa Bumi dahsyat terjadi, diikuti runtuhnya sisi timur Gunung Unzen yang menyebabkan tanah longsor dan menyapu Kota Shimabara ke Teluk Ariake. Bencana ini memicu tsunami besar, gelombang setinggi 10-20 meter muncul.
Sebanyak 14.300 orang dilaporkan tewas tertimbun tanah longsor dan tersapu gelombang tsunami.
Advertisement