Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, pada 20 Agustus 2018, menjelaskan bahwa Indonesia dan Filipina tengah menjajaki kerja sama pengembangan kapasitas ekonomi untuk Bangsa Moro di Filipina selatan --sebuah populasi muslim minoritas di Filipina yang selama puluhan tahun berjuang untuk memperoleh hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination).
Pembahasan itu terjadi beberapa pekan setelah Parlemen dan Presiden Filipina mengesahkan Bangsa Moro Organic Law (BOL) pada 24 Juli 2018. Undang-undang itu menyediakan pembentukan sebuah wilayah otonom yang dikenal sebagai Daerah Otonomi Bangsa Moro (Bangsa Moro Autonomous Region), menggantikan Daerah Otonom di Muslim Mindanao (ARMM).
Meski belum terimplementasi penuh mengingat perlunya referendum --yang akan digelar pada Oktober hingga Desember 2018 nanti-- undang-undang tersebut dinilai sebagai sebuah tonggak bersejarah bagi Bangsa Moro untuk meraih otonomi.
Advertisement
Mengomentari hal tersebut, Menlu Retno Marsudi menyambut positif adanya undang-undang tersebut dan menjelaskan bahwa Indonesia bisa "berpartisipasi di sektor ekonomi" dalam prospek berdirinya Daerah Otonomi Bangsa Moro.
"Filipina berharap agar aktivitas sektor ekonomi dan bisnis swasta Indonesia dapat lebih ditingkatkan di masa mendatang, termasuk di selatan Filipina setelah berlakunya Bangsa Moro Organic Law," kata Retno, selepas menerima kedatangan Menteri Luar Negeri Filipina Alan Peter Cayetano di Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta, Senin (20/8/2018).
Baca Juga
Keduanya melaksanakan dialog secara tertutup selama sekitar 45 menit. Menlu Cayetano tak memberikan keterangan pers, dan isi pembicaraan dipaparkan seluruhnya oleh Menlu Retno kepada awak media.
"Ini kan nantinya akan ada pemerintahan otonomi untuk Bangsa Moro di selatan Filipina, maka menimbulkan prospek dibangunnya kegiatan ekonomi di sana. Dan, sebagai negara yang bertetangga dekat, Indonesia dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi tersebut," pungkas Retno yang menambahkan bahwa sektor UMKM, konstruksi, dan perkebunan dari Indonesia bisa ambil andil terkait hal tersebut.
"Menlu Filipina juga mengapresiasi kerja sama dengan Indonesia terkait pengembangan kapasitas pendidikan untuk Bangsa Moro," tambahnya yang merujuk pada sejumlah kerja sama dalam bidang edukasi sektor pendidikan agama (pesantren) di wilayah yang didiami oleh Bangsa Moro, di mana kooperasi itu telah berlangsung sejak beberapa tahun
Melengkapi pemaparan Retno, Direktur Asia Tenggara Kemlu RI Denny Abdi mengatakan bahwa Filipina juga ingin belajar dari Indonesia "terkait pengalaman RI dalam menerapkan otonomi di Aceh yang sekarang relatif damai."
"Kita punya pengalaman tentang hal itu dan Filipina ingin belajar dari Indonesia," jelas Denny.
"Termasuk soal pembangunan ke depan (untuk wilayah Bangsa Moro), dalam hal konstruksi infrastruktur dan membuka jalan agar perusahaan dan ekonomi Indonesia yang mau masuk ke sana," tambahnya.
Â
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Â
Simak video pilihan berikut:
Â
Rodrigo Duterte Teken Undang-undang Otonomi Bangsa Moro
Presiden Rodrigo Duterte pada 24 Juli 2018 mengatakan telah menandatangani Bangsa Moro Organic Law (BOL). Demikian seperti dikutip dari surat kabar Filipina Inquirer.
"Saya telah menandatangani BBL," kata Duterte dalam pidato di Kota Zamboanga. Duterte mengacu pada Basic Bangsa Moro Law (BBL), yang berganti nama menjadi BOL.
Juru bicara kepresidenan Harry Roque juga menegaskan bahwa Presiden telah menandatangani undang-undang tersebut.
"Presiden baru saja menandatangani BOL menjadi undang-undang," kata Roque.
Undang-undang itu, jika disepakati dalam referendum yang digelar antara Oktober-Desember 2018, akan menggantikan wilayah otonomi Bangsa Moro yang telah ada --yang kerap konflik-- dengan wilayah yang berpotensi lebih besar, yang didanai lebih baik dan lebih kuat.
Kesepakatan otonomi adalah upaya signifikan terbaru oleh pemerintah untuk mengakhiri hampir setengah abad pertempuran Muslim yang telah menyebabkan lebih dari 120.000 orang tewas dan menghambat pembangunan di daerah-daerah termiskin di negara itu.
Kekuatan gerilya Front Pembebasan Islam Moro (MILF) telah lama menyuarakan untuk memisahkan diri guna mendirikan negara muslim yang terpisah dalam pertukaran untuk otonomi. Di sisi lain, Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) --kelompok sempalan MILF-- telah menempa perjanjian damai dengan pemerintah pada 1996, yang menyebabkan wilayah otonomi Muslim berkurang hanya menjadi lima provinsi saat ini, yang sebagian besar dianggap sebagai kegagalan.
Negara Barat telah menyambut baik BOL, namun mengkhawatirkan bahwa sejumlah kecil gerilyawan yang terkait ISIS dari Timur Tengah dan Asia Tenggara dapat membentuk aliansi dengan pemberontak Filipina dan menjadikan wilayah selatan negara itu sebagai tempat berkembang biak bagi para ekstremis.
Al Haj Murad Ebrahim, ketua MILF, mengatakan penting sekali bagi perjanjian perdamaian untuk ditegakkan sepenuhnya, dengan mengutip bagaimana upaya gagal sebelumnya memaksa beberapa gerilya melepaskan diri dan membentuk lebih banyak kelompok garis keras seperti Abu Sayyaf, kelompok brutal yang didaftar oleh Amerika Serikat dan Filipina sebagai organisasi teroris.
"Kami kira-kira dapat menyimpulkan bahwa semua kelompok sempalan ini adalah hasil dari frustrasi dengan proses perdamaian," kata Murad.
Murad mengatakan, kelompok garis keras dapat diselaraskan kembali ke masyarakat arus utama jika kesepakatan damai berhasil dan diterima oleh rakyat. Jika mereka terus bertempur, dia mengatakan "akan sangat sulit bagi mereka untuk ada" tanpa dukungan masyarakat.
Pada hari Selasa, Murad mengatakan bahwa 30.000 hingga 40.000 pejuang bersenjata akan "dinonaktifkan" jika kesepakatan otonomi yang diharapkan akan ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden Duterte sepenuhnya ditegakkan.
Advertisement