Sukses

Unicef: Anak-Anak Rohingya Terancam Jadi 'Generasi yang Hilang'

Lembaga PBB mengimbau publik dunia untuk turut memperhatikan nasib anak-anak Rohingya di kamp pengungsi di Bangladesh.

Liputan6.com, Napyidaw - PBB baru saja mengatakan di hadapan publik bahwa anak-anak pengungsi Rohingya tidak memiliki pendidikan yang layak di kamp-kamp darurat di Bangladesh. Jika hal itu dibiarkan, maka akan memicu "generasi yang hilang" di masa depan.

Pernyataan tersebut disampaikan PBB melalui Unicef, yang menyoroti hampir setengah jumlah anak dari sekitar 700 ribu pengungsi Rohingya. Mereka meninggalkan kampung halaman di negara bagian Rakhine, Myanmar, karena desakan operasi militer pemerintah.

Kehidupan dan masa depan lebih dari 380.000 anak-anak di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh dalam bahaya, sementara ratusan ribu anak-anak Rohingya masih di Myanmar terputus dari bantuan, tulis laporan oleh Unicef, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Kamis (23/8/2018).

"Bangladesh melarang para pengungsi menerima pendidikan formal, karena pemerintah di sana khawatir populasi muslim Rohingya menjadi penduduk permanen," kata juru bicara Unicef ​, Alastair Lawson-Tancred.

Pada awal krisis pengungsi, lembaga terkait mendirikan pusat pembelajaran informal untuk anak-anak berusia tiga hingga 14 tahun, tetapi remaja yang lebih tua merasa terasingkan dan putus asa, kata Lawson-Tancred.

Sebagian besar pengungsi melintasi perbatasan dalam empat bulan pertama operasi militer, yang dimulai setelah gerilyawan Rohingya melancarkan serangan mematikan terhadap pasukan keamanan di perbatasan negara bagian Rakhine pada 25 Agustus 2017.

Para pejabat Myanmar telah berulang kali membantah bahwa tentara melakukan kekejaman terhadap warga sipil Rohingya, yang telah didokumentasikan oleh aktivis dan termasuk pemerkosaan, pembunuhan dan pembakaran.

Sementara itu, studi oleh badan amal Save the Children terungkap pada pekan ini, bahwa lebih dari 6.000 anak tinggal seorang diri, terpisah dari orang tua, di Cox's Bazar, yang merupakan pusat kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh.

Beberapa lembaga amal dikabarkan setidaknya mampu menyediakan layanan dasar bagi anak-anak, seperti sekolah darurat, bimbingan konseling, dan akes literatur.

Namun hal itu diakui oleh para relawan, masih jauh dari tuntas karena kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak rentang mengalami banjir, tanah longsor, dan bahan wabah penyakit.

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini

 

Simak video pilihan berikut; 

 

2 dari 2 halaman

Janji Aung San Suu Kyi

Di lain pihak, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi mengatakan kepada media pada pekan ini, bahwa belum ada kepastian kerangka waktu bagi pemulangan pengungsi muslim Rohingya ke negara bagian Rakhine.

Menurutnya, hal itu terasa sulit karena Myanmar membutuhkan dialog dan kerja sama lebih lanjut dengan negara yang menjadi tujuan mengungsi, yakni Bangladesh.

Dikutip dari VOA Indonesia pada Rabu 22 Agustus, pernyataan Suu Kyi itu disampaikan dalam sebuah pidato di tengah kunjungannya selama empat hari ke Singapura.

Pidato tersebut diketahui membahas tentang tinjauan dua tahun pemerintahannya, yang juga menyinggung beberapa pokok masalah lainnya, seperti salah satunya terkait dukungan komunitas ASEAN dalam menuntaskan konflik di tengah komunitas muslim Rohingya.

Suu Kyi memastikan bahwa Myanmar akan fokus mengatasi konflik terkait isu Rohingya. Ia juga mengatakan telah berunding dengan Bangladesh untuk memetakan beberapa lokasi umum bagi pemukiman warga Rohingya yang kembali ke negara bagian Rakhine.

"Kami menunggu konfirmasi dan hasil kesepakatan dengan Bangladesh. Semoga semua berjalan dengan baik," kata Suu Kyi di hadapan media.