Liputan6.com, Washington DC - Semakin banyak tahu tentang bahaya senjata nuklir, semakin Anda khawatir tentang dampak yang dibuatnya. Dan Jeffrey Lewis adalah salah satu orang yang menyadari tentang hal itu, sampai-sampai, ia menulis sebuah buku yang memprediksi bagaimana situasi dunia pada saat ini mungkin akan memicu perang nuklir di masa depan.
Seorang pakar pengendalian senjata dan analis yang kerap menelaah program pengembangan senjata nuklir Korea Utara, Jeffrey Lewis menulis sebuah buku yang berisi tentang kekhawatirannya bahwa betapa mudah Donald Trump dapat terjebak di tengah-tengah perang nuklir antara AS dengan negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu.
'The 2020 Commission Report on the North Korean Nuclear Attacks Against the United States' karya Jeffrey Lewis yang diterbitkan pada 7 Agustus 2018 adalah karya fiksi spekulatif yang mengacu pada pengetahuan faktual yang mendalam, demikian seperti dikutip dari media AS Quartz, Selasa (28/8/2018).
Advertisement
Buku itu dibingkai sebagai laporan komisi pemerintah masa depan yang menyelidiki konflik nuklir yang menyebabkan 1,4 juta orang Amerika tewas, dengan Lewis memposisikan diri sebagai orang ke-3 yang bertindak sebagai pelapornya.
Tokoh-tokohnya adalah figur pejabat tinggi dan negarawan dunia nyata di masa kini dan masa depan, yang direkonstruksikan oleh Lewis dalam sebuah narasi di mana para karakternya bertindak berdasarkan motif-motif riil saat ini.
Baca Juga
Dalam bukunya, Lewis menggambarkan Presiden AS Donald Trump sebagai aktor rasional, tak seperti penggambaran media arus utama saat ini yang mendokumentasikan Trump sebagai pembuat kebijakan yang buruk, sangat membebani, serta bertindak sembrono dengan kecenderungan untuk meluncurkan rudal nuklir kepada saingannya.
Sebaliknya, Lewis dalam bukunya membentuk sebuah realitas di mana para pemimpin dunia, termasuk AS dan Korea Utara sekalipun, adalah aktor yang bergerak dengan minim kesalahan. Penggambaran itu, bagi Lewis, lebih cocok dan masuk akal dalam mendeskripsikan tatanan dunia saat ini --di tengah berbagai narasi ancaman perang nuklir atau konflik terbuka multilateral lainnya.
Lantas, sebagai ganti atas penegasian sikap sembrono Trump, yang menurut Lewis tak masuk akal sebagai pemicu perang nuklir, sang penulis justru memusatkan skenario konflik di masa depan dalam bukunya, berdasarkan plot dan motif yang jauh lebih bisa dipercaya dan amat riil (hyper-reality).
Menurut resensi Quartz, Jeffrey Lewis dalam 'The 2020 Commission Report on the North Korean Nuclear Attacks Against the United States'-nya mengangkat empat faktor kunci di jantung cerita yang cenderung riil dalam kehidupan nyata sebagai prediktor perang nuklir di masa depan:
- Korea Utara kemungkinan memiliki senjata nuklir yang mampu menyerang, bukan hanya Korea Selatan dan Jepang, tetapi juga AS, bertentangan dengan klaim oleh pejabat Washington DC bahwa negara itu belum memiliki cara "andal" untuk meluncurkan senjatanya.
- Sistem pertahanan rudal AS tidak mungkin menghentikan rudal nuklir yang diluncurkan ke Negeri Paman Sam, dan militer AS memiliki sedikit kemampuan untuk mencegah peluncuran rudal Korea Utara, dan yang terpenting:
- Kurangnya kejelasan seputar motivasi masing-masing negara, terutama psikologi Kim Jong-un, menyisakan area abu-abu yang matang bagi negara nuklir untuk keliru menginterpretasikan sinyal ancaman dari satu sama lain.
- Lewis juga mereferensikan pertemuan puncak antara Trump dan Kim Jong-un di Singapura pada Juni 2018 sebagai salah satu prekursor dari perang nuklir di masa depan.
Pertemuan di Singapura, menurut prediksi Lewis, tidak menghasilkan kesepakatan yang langgeng. Dan, ketika realitas itu terjadi, Lewis menilai bahwa Trump akan kehilangan muka dan menyalahkan Korea Utara --sebuah resep yang akan meningkatkan ketegangan.
Dalam bukunya, Lewis juga menggambarkan bahwa masyarakat dunia, terutama AS, sangat tidak ambil pusing terhadap ancaman perang nuklir yang akan melanda mereka.
Itu disebabkan karena tak banyak orang AS yang memahami sifat ancaman nuklir terhadap mereka --sebuah narasi yang dikonstruksikan oleh Lewis dengan bercermin pada kesaksian masyarakat Hiroshima dan Nagasaki yang tak tahu menahu tentang senjata nuklir hingga akhirnya AS menjatuhkan bom atom pada 1945.
Buku itu tidak berakhir dengan merangkul preferensi Lewis pribadi atas perlucutan senjata nuklir global. Sebaliknya, Lewis memprediksikan hal-hal sebagai berikut: blok dan partisan antar negara di masa depan masih eksis, negara berkekuatan nuklir tetap ada dan tak akan mau melucuti persenjataannya, serta, Donald Trump menghadapi pemakzulan, yang kemudian digantikan oleh Mike Pence sebagai presiden.
Sejauh ini, kekuatan ekonomi AS dan kurangnya krisis nyata telah melindungi masyarakat dari betapa tak berpengalaman dan ketidaktahuan Trump dalam mengatasi dinamika potensi konflik global.
Di tengah hal itu, buku Jeffrey Lewis memposisikan diri sebagai pengingat bagi khalayak bahwa setiap saat, Donald Trump dengan segala ke-eksentrik-annya akan diminta untuk menjadi pengambil keputusan, memilih hidup atau mati bagi jutaan orang menjelang perang nuklir yang, mungkin, mendekati ambang.
Bagi yang tertarik membaca 'The 2020 Commission Report on the North Korean Nuclear Attacks Against the United States', buku tersebut telah dijual secara daring di beberapa situs-situs jual-beli online.
Â
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Â
Simak video pilihan berikut:
Â
Donald Trump Perintahkan Menlu AS Tunda Lawatan ke Korea Utara
Beberapa pekan setelah 'The 2020 Commission Report on the North Korean Nuclear Attacks Against the United States' karya Jeffrey Lewis terbit, entah kebetulan atau tidak, Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Jumat (24/8) meminta Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo untuk menunda perjalanannya ke Korea Utara.
Alasannya, tak ada perkembangan berarti terkait denuklirisasi di Semenanjung Korea, seperti yang telah dijanjikan Kim Jong-un.
Pernyataan itu disampaikan oleh Donald Trump, lewat akun Twitternya @realDonaldTrump. Padahal, Pompeo sendiri dijadwalkan akan bertolak ke Korut dalam waktu dekat.
Pompeo sebelumnya dijadwalkan akan melakukan kunjungan keempatnya ke Pyongyang pekan depan untuk apa yang ia gambarkan sebagai langkah selanjutnya menuju "denuklirisasi akhir Korea Utara yang sepenuhnya diverifikasi".
Tetapi Trump --yang tengah menghadapi banyak masalah dalam negeri dan menerima laporan independen bahwa Korea Utara telah hanya melakukan sedikit atau tidak sama sekali upaya untuk denuklirisasi-- membatalkan rencana kunjungan Pompeo ke Pyongyang.
Pemimpin AS mengatakan dia telah meminta Pompeo untuk tidak pergi ke Pyongyang "karena saya merasa kami tidak membuat kemajuan yang cukup sehubungan dengan denuklirisasi Semenanjung Korea".
Trump juga meningkatkan retorikanya terhadap China, di tengah perang dagang yang berkecamuk antara dua ekonomi teratas dunia.
"Karena sikap perdagangan kami yang jauh lebih ketat dengan China, saya tidak percaya mereka membantu proses denuklirisasi (Korea Utara) seperti dulu," meskipun ada sanksi PBB terhadap Pyongyang, tambah Trump yang menuduh Beijing sebagai salah satu faktor yang menahan Pyongyang untuk melakukan perlucutan senjata serta denuklirisasi.
Merespons hal tersebut, China menyebut Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebagai figur "tak bertanggungjawab", setelah Trump membatalkan kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Korea Utara dan mendeskripsikan Beijing sebagai salah satu faktor yang menunda Pyongyang untuk melakukan perlucutan senjata serta denuklirisasi.
"Karena sikap perdagangan kami yang jauh lebih ketat dengan China, saya tidak percaya mereka membantu proses denuklirisasi (Korea Utara) seperti dulu," meskipun ada sanksi PBB terhadap Pyongyang, tambah Trump yang menuduh Beijing sebagai salah satu faktor yang menahan Pyongyang untuk melakukan perlucutan senjata serta denuklirisasi.
Beijing membalas tuduhan Trump yang mereka sebut sebagai komentar orang yang "inkonsisten" dan mengatakan telah mengajukan pengaduan diplomatik resmi atas komentar tersebut.
"Pernyataan AS bertentangan dengan fakta-fakta dasar dan tidak bertanggung jawab. Kami sangat prihatin tentang ini," kata juru bicara kementerian luar negeri Lu Kang dalam sebuah pernyataan yang diposting di situs web kementerian, seperti dikutip dari The New Zealand Herald, Minggu 26 Agustus.
"Semua pihak yang terkait harus ... menunjukkan lebih banyak kesungguhan dan fleksibilitas, bukannya berubah-ubah dan menyalahkan orang lain."
Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un membuat komitmen samar untuk mencapai "denuklirisasi Semenanjung Korea" pada pertemuan puncak penting di Singapura pada Juni 2018.
Trump telah menyebut bahwa pembicaraannya dengan Kim Jong-un sebagai terobosan bersejarah, tetapi kedua belah pihak sejak itu mengeluhkan tentang tersendatnya kemajuan tentang kesepatan yang mereka buat di Singapura.
Washington menyerukan embargo ekonomi pada Korea Utara untuk tetap dipertahankan, mengatakan sanksi harus tetap berlaku atau bahkan diperketat, sampai Pyongyang membongkar persenjataan nuklirnya.
Tetapi China dan Rusia berpendapat bahwa Korea Utara harus diberi imbalan dengan prospek peringanan sanksi karena telah mau membuka dialog dengan AS dan menghentikan uji coba rudal.
Advertisement
Laporan IAEA: Korea Utara Masih Membuat Nuklir
Pada pekan yang sama, sebuah laporan baru yang dirilis pengawas nuklir PBB, mengungkapkan "keprihatinan serius" bahwa Pyongyang terus mengembangkan program nuklirnya.
Padahal, negara itu telah berkomitmen untuk melakukan denuklirisasi, sebuah janji yang diutarakan oleh pemimpin Korut Kim Jong-un dalam pertemuan puncak dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Singapura pada Juni lalu.
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menulis dalam laporan yang diterbitkan Senin 20 Agustus bahwa Korea Utara masih melanjutkan konstruksi dan aktivitas, di beberapa lokasi di dalam dan di sekitar fasilitas penelitian dan pengembangan nuklir di Yongbyon Nuclear Scientific Research Center, 100 km utara Pyongyang. Demikian seperti dikutip dari CBS News, Kamis 23 Agustus 2018.
IAEA juga menyebut bahwa inspektur bersertifikasi internasional juga belum mendapat akses dari Pyongyang untuk meninjau atau mengumpulkan bukti-bukti terkait proses denuklirisasi di Korea Utara.
Badan itu, yang berbasis di Jenewa, mengatakan bahwa "kegiatan nuklir Korea Utara yang terus berlanjut merupakan pelanggaran jelas atas resolusi Dewan Keamanan PBB", dan "sangat menyesalkan" langkah Korut untuk terus mengembangkan nuklir.