Sukses

Pasar Domestik Dulang Keuntungan, Korea Utara Disebut Sukses Terapkan Kapitalisme

Kapitalisme disebut menjadi kekuatan yang tengah berkembang dan semakin besar di Korea Utara, menurut laporan CSIS.

Liputan6.com, Washington DC - Korea Utara tetap menjadi salah satu negara yang paling tertutup di dunia, namun kapitalisme disebut menjadi kekuatan yang tengah berkembang dan semakin besar di negara yang terisolasi itu --menurut riset lembaga think-tank yang berbasis di Amerika Serikat.

Setidaknya ada 436 pasar (market) yang secara resmi disetujui berlokasi di seluruh negeri, menurut penelitian yang dirilis pekan ini oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS), think-tank yang berbasis di Washington DC, seperti dikutip dari USA Today, Selasa (28/8/2018).

Pasar resmi pertama diizinkan beroperasi pada 2002, yang muncul di tengah perekonomian Korut yang mengandalkan pasar gelap (black market) setelah runtuhnya dukungan dari Uni Soviet dan kelaparan yang menghancurkan pada 1990-an.

Pasar resmi itu menjual semuanya, mulai dari kaus kaki, kosmetik hingga mie, dan mendulang keuntungan sekitar US$ 56,8 juta per tahun melalui pajak dan sewa yang dibayar oleh vendor ke negara, dan telah "menjadi bagian yang terlembagakan dari masyarakat Korea Utara," menurut penelitian CSIS, yang bermitra dengan North Korea Development Institute di Seoul.

"Pertumbuhan pasar (resmi) adalah satu-satunya perkembangan sosioekonomi paling signifikan yang terjadi di Korea Utara selama 20 tahun terakhir," tulis penulis studi, Victor Cha dan Lisa Collins.

Pasar tersebut memiliki besar yang variatif, mulai dari yang mikro hingga ke ukuran pasar raksasa seluas 76,2 km persegi di Sunam, Chongjin (kota terbesar ketiga di Korut), yang menghasilkan sekitar US$ 850.000 per tahun untuk pemerintah, menurut penelitian CSIS.

Selain pasar resmi, pasar gelap juga ada dan terus berkembang di Korea Utara.

Awalnya memasok kebutuhan makanan dan kebutuhan masyarakat Korea Utara, pasar gelap telah berevolusi dari waktu ke waktu untuk menyediakan barang-barang tersier seperti telepon seluler dan media dari dunia luar termasuk acara televisi Korea Selatan dan film-film Tiongkok.

Gaya santai Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un berbusana kaus oblong saat blusukan ke pabrik perikanan di Korea Utara (KCNA)

Semua itu ternyata berkontribusi pada terkikisnya ketergantungan warga negara Korea Utara terhadap sumber pendapatan dan pemasukan ekonomi dari pemerintah, menurut CSIS.

Dalam survei mikro, CSIS menemukan bahwa 72 persen atau responden menerima hampir semua pendapatan rumah tangga mereka dari pasar, dan 83 persen mengatakan bahwa barang dan informasi luar memiliki dampak yang lebih besar pada kehidupan mereka daripada keputusan isolasi yang diterapkan oleh pemerintah Korea Utara.

"Ketika pemerintah secara berkala menekan aktivitas pasar, masyarakat bereaksi dengan marah," tulis Cha dan Collins, yang menyimpulkan bahwa perkembangan pasar dapat menyebabkan perubahan sosial yang lebih mendalam bagi Korea Utara ke depannya.

Dikombinasikan dengan pertumbuhan konektivitas telepon seluler domestik dan jaringan transportasi pribadi, semakin berkembangnya Korea Utara "adalah mungkin", bahkan cukup nyata untuk membayangkan prospek "pertumbuhan masyarakat sipil yang baru lahir," tulis para periset itu.

Korea Utara, terutama ibu kota Pyongyang, memang telah melihat kemunculan kelas menengah baru dalam beberapa tahun terakhir, di mana mereka memiliki kemampuan berbelanja (dari segi ekonomi dan akses) untuk lemari es dan mesin cuci di Pusat Perbelanjaan Area Kwangbok setinggi tiga lantai, atau mencicipi hamburger di jaringan restoran cepat saji.

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Mempercepat Reformasi Ekonomi

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un telah mempercepat reformasi ekonomi sejak berkuasa pada 2011, dan tahun ini secara khusus ia telah menekankan pengembangan ekonomi Korea Utara.

Pada bulan April, ia mengumumkan bahwa negara itu akan mengakhiri kebijakan pertumbuhan dua jalur pertumbuhan ekonomi dan pengembangan senjata nuklir. Sebagai gantinya, ia akan "memfokuskan semua energinya untuk membangun ekonomi sosialis."

Namun, ekonomi Korea Utara tetap tertekan oleh sanksi internasional yang ketat yang dikenakan sebagai reaksi terhadap program senjata nuklirnya. Perekonomian Korut menyusut 3,5 persen pada 2017, menurut bank sentral Korea Selatan. Angka itu menunjukkan yang terburuk dalam dua dekade.

Pyongyang telah putus asa untuk mencari bantuan, tetapi Washington telah menetapkan garis keras, dengan mengatakan bahwa sanksi tidak akan dicabut sampai Korea Utara mencapai denuklirisasi lengkap.

Kebuntuan itu telah menyebabkan gesekan dalam hubungan yang telah melihat dorongan besar dari pertemuan bersejarah antara Presiden Donald Trump dan Kim di Singapura pada bulan Juni, di mana sang pemimpin Korut berkomitmen untuk "denuklirisasi lengkap Semenanjung Korea" tanpa memberikan spesifikasinya.

Kim baru-baru ini mengkritik "musuh" karena "mencoba untuk melumpuhkan orang-orang Korea melalui sanksi dan blokade biadab," kata Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) yang dikelola pemerintah.

Korea Selatan juga ingin memperluas hubungan ekonomi dengan Korea Utara. Presiden Moon Jae-in meletakkan visi komunitas ekonomi bersama dengan Korea Utara, dan mengumumkan rencana untuk menghubungkan kembali hubungan jalan dan kereta api antara kedua negara pada akhir tahun ini.