Liputan6.com, Washington DC - Dua sekutu Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jepang, dikabarkan tengah berseberangan dalam menyikapi ancaman nuklir Korea Utara.
Jepang, sekutu lama AS, berpikir bahwa Korea Utara menimbulkan ancaman nuklir yang mendesak. Sementara Korea Selatan tak lagi menganggapnya demikian, dan tengah berusaha untuk terus meningkatkan hubungan ekonomi dengan Pyongyang.
Kondisi itu, menurut sejumlah tokoh, membuat AS cemas. Karena, Washington membutuhkan keselarasan dari kedua negara, demi mendukungnya untuk mengupayakan denuklirisasi penuh Korea Utara dan kawasan semenanjung.
Advertisement
Ketidakselarasan antara Jepang dan Korea Selatan pun tak hanya mengancam gagalnya tujuan AS untuk mencapai denuklirisasi Korut, namun juga di satu sisi, akan memberikan keuntungan yang signifikan bagi politik luar negeri Kim Jong-un.
"Seperti yang saya takutkan, Kim Jong-un telah mengetahui tentang perpecahan tersebut, dan dia kini bisa mengeksploitasi penuh kondisi terebut demi melemahkan sanksi dan pengaruh AS," kata Senator AS Marco Rubio (Florida, Partai Republik), seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (29/8/2018).
Kurang dari tiga bulan setelah menjabat tangan Kim Jong-un di Singapura, Presiden AS Donald Trump menghadapi patahnya lanskap diplomatik antara dua sekutu kuncinya: Jepang dan Korea Selatan, yang mana keduanya mengejar hasil yang berbeda soal Korea Utara.
Baca Juga
Di Tokyo, pada Selasa 28 Agusutus, pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe menegaskan kembali bahwa Korea Utara menimbulkan ancaman "serius dan mendesak" terhadap Jepang, meskipun Kim Jong-un telah menjanjikan "denuklirisasi" di semenanjung.
Sementara itu, di Seoul, Presiden Moon Jae-in mengambil langkah untuk meningkatkan hubungan dengan Kim Jong-un, mendirikan kantor penghubung di perbatasan yang, menurut pejabat AS, bisa melanggar sanksi. Kementerian Pertahanan Korea Selatan dilaporkan tengah mempertimbangkan untuk menghapuskan militer Korea Utara dari daftar ancaman nasional bagi Negeri Ginseng.
Moon Jae-in juga berencana mengunjungi Pyongyang bulan depan, perjalanan pertama oleh seorang presiden Korea Selatan dalam 11 tahun.
"Pembentukan kantor penghubung sehingga Korea Selatan dan Korea Utara dapat berkomunikasi secara lebih teratur adalah cara yang efektif untuk menciptakan irisan antara Amerika Serikat dan Korea Selatan," kata Stephen Nagy, seorang profesor senior di International Christian University Tokyo.
"Jika ada fraktur atau melemahnya aliansi AS-Korea Selatan, ini akan berpotensi menempatkan Jepang dalam situasi rentan."
Senator Rubio juga menggarisbawahi pembentukan kantor penghubung tersebt.
"Tampaknya pemerintah Korea Selatan bergerak maju sendiri dengan membuka Kantor Penghubung Antar-Korea dengan Korea Utara atas keberatan AS," kata Rubio.
Sementara itu, seorang pejabat AS yang anonim mengatakan kepada surat kabar Korea Selatan Chosun Ilbo pekan lalu bahwa kantor penghubung tersebut dapat melanggar sanksi PBB dan AS.
Melengkapi, seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri AS mengatakan kepada Bloomberg bahwa hubungan antara kedua Korea harus bergerak "selaras" dengan misi denuklirisasi Korea Utara.
Â
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Â
Simak video pilihan berikut:
Menlu Pompeo Batal ke Pyongyang, Hubungan AS-Korea Utara Mundur?
Sepucuk surat yang ditulis oleh Korea Utara kabarnya memicu Donald Trump membatalkan rencana kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Pyongyang. Keputusan presiden Amerika Serikat itu dibuat pada detik-detik terakhir, jelang kunjungan Pompeo yang keempat ke Korea Utara.
Sejumlah pihak menganggap bahwa pembatalan kunjungan Pompeo ini menandai sebuah kemunduran signifikan bagi hubungan antara kedua negara --menurut laporan sejumlah media AS yang menerima informasi dari beberapa narasumber anonim.
Keberadaan surat itu, yang dikirim oleh Wakil Ketua Komite Sentral Partai Komunis Korea Utara Kim Yong-chol kepada Pompeo, pertama kali dilaporkan oleh The Washington Post pada Selasa 28 Agustus 2018.
Surat tersebut tertulis, para pejabat Korea Utara memperingatkan Amerika Serikat bahwa pembicaraan denuklirisasi "lagi-lagi dipertaruhkan dan mungkin berantakan," sumber yang akrab dengan proses itu mengatakan kepada CNN, dilansir pada Selasa 28 Agutus 2018.
Surat itu dilayangkan ke Pompeo beberapa jam sebelum ia dijadwalkan berangkat bersama utusan khusus barunya, Stephen Biegun, pada Jumat 24 Agustus, tambah sumber tersebut.
Melengkapi laporan di atas, tiga narasumber dengan pengetahuan langsung tentang posisi Korea Utara soal denuklirisasi mengatakan, surat itu menyatakan bahwa rezim Kim Jong-un merasa bahwa proses untuk mencapai tujuan tersebut tidak dapat bergerak maju, karena "AS masih belum siap untuk memenuhi harapan Korea Utara dalam menandatangani perjanjian damai."
Perjanjian damai yang dimaksud, merujuk pada upaya untuk mengakhiri secara damai Perang Korea 1950-53, yang sampai saat ini hanya berstatus sebagai gencatan senjata.
Di sisi lain, AS sejauh ini dikabarkan tak mau meneken perdamaian yang mengikat secara hukum dengan Korea Utara seputar Perang Korea, dan tetap mempertahankan status quo gencatan senjata.
Perjanjian perdamaian juga dikabarkan akan sulit dicapai di domestik AS, karena memerlukan persetujuan dari dua per tiga suara Kongres.
Jika kompromi tidak dapat dicapai dan perundingan yang baru lahir runtuh, Pyongyang bisa melanjutkan "kegiatan nuklir dan rudal," kata sumber-sumber anonim tersebut.
Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un membuat komitmen samar untuk mencapai "denuklirisasi Semenanjung Korea" pada pertemuan puncak penting di Singapura pada Juni 2018.
Trump telah menyebut bahwa pembicaraannya dengan Kim Jong-un sebagai terobosan bersejarah, tetapi kedua belah pihak sejak itu mengeluhkan tentang tersendatnya kemajuan tentang kesepatan yang mereka buat di Singapura.
Washington menyerukan embargo ekonomi pada Korea Utara untuk tetap dipertahankan, mengatakan sanksi harus tetap berlaku atau bahkan diperketat, sampai Pyongyang membongkar persenjataan nuklirnya.
Tetapi China dan Rusia berpendapat bahwa Korea Utara harus diberi imbalan dengan prospek peringanan sanksi karena telah mau membuka dialog dengan AS dan menghentikan uji coba rudal.
Advertisement