Sukses

Pemerintah Myanmar Dituduh Menghalangi Bantuan ke Masyarakat Sipil

Laporan dari sebuah kelompok HAM menuding pemerintah Myanmar telah sengaja menghalangi bantuan ke masyarakat sipil setempat.

Liputan6.com, Napyidaw - Laporan dari kelompok pemerhati hak asasi manusia Fortify Rights mengatakan, pemerintah Myanmar sengaja menghalangi pengiriman bantuan kepada warga sipil di dua negara bagian di wilayah utara, Kachin dan Shan, yang terlibat konflik internal terkait isu pemberontakan.

Pertempuran kembali antara militer Myanmar dan kelompok pemberontak Kachin telah membunuh ribuan warga sipil, dan menelantarkan lebih dari 100.000 orang lainnya sejak 2011.

Dikutip dari Boston Globe pada Jumat (31/8/2018), Tentara Kemerdekaan Kachin adalah salah satu dari beberapa kelompok pemberontak etnis yang telah diperangi militer sejak kemerdekaan Myanmar dari Inggris, 70 tahun silam.

Ribuan orang dipaksa meninggalkan rumah mereka sejak serangan baru dimulai pada bulan April, yang telah meningkatkan kekhawatiran tentara Myanmar menciptakan krisis kemanusiaan di Kachin.

Muncul pula kekhawatiran bahwa krisis tersebut akan berujujung serupa dengan kekerasan terhadap muslim Rohingya di negara bagian barat Rakhine.

Fortify Rights mengatakan warga sipil yang terlantar akibat kekerasan Kachin telah menderita "peningkatan kerawanan pangan, kematian yang berhubungan dengan kesehatan yang dihindari, kondisi hidup yang buruk, dan masalah perlindungan" karena kurangnya bantuan penting.

"Pemerintah dan militer berturut-turut telah dengan sengaja menghalangi kelompok bantuan lokal dan internasional, menjegal akses warga sipil ke bantuan Kachin," kata Matthew Smith, pimpinan Fortify Rights, dalam sebuah pernyataan yang menyertai laporan kelompok tersebut.

"Ini mungkin merupakan kejahatan perang, memberikan alasan yang lebih banyak lagi bagi Dewan Keamanan PBB untuk menhyeret Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional," tambahnya.

Di lain pihak, beberapa pengungsi mengaku tidak mendapat jatah bahan pangan yang layak di kamp-kamp pengungsian di perbatasan.

Salah seorang pengungsi, Zau Raw, mengatakan kepada kelompok hak asasi manusia bahwa dia menyaksikan tentara Myanmar mengambil uang dari truk bantuan, dan kemudian memblokir pengiriman mereka.

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

Myanmar Tolak Tuduhan Genosida

Sementara itu, Myanmar menolak temuan laporan tim pencari fakta PBB awal pekan ini, yang menuduh bahwa perwira tinggi dan panglima militer setempat melakukan genosida dan kejahatan kemanusiaan lain, dalam penumpasan kelompok minoritas muslim Rohingya di negara bagian Rakhine tahun lalu.

Laporan itu, yang dikemukakan di Jenewa pada Senin 27 Agustus, oleh Misi Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) di bawah naungan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB, merupakan hasil penyelidikan selama kurang-lebih satu tahun, dengan mewawancarai narasumber dan saksi, meriset, dan menganalisis berbagai data yang ditemukan.

Merespons hal tersebut, juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay pada Rabu 29 Agustus 2018 mengatakan kepada media pemerintah bahwa Naypyidaw "tidak sepakat dan tidak menerima resolusi apapun" yang disampaikan Dewan HAM PBB, demikian seperti dikutip dari BBC, Kamis 30 Agustus.

"Kami tidak mengizinkan TPF untuk masuk ke Myanmar, oleh karenanya, kami tidak setuju dan menerima resolusi apa pun yang dibuat oleh Dewan Hak Asasi Manusia," Zaw Htay mengatakan kepada kantor berita Global New Light dari Myanmar.

Zaw Htay mengatakan, Myanmar memiliki Komisi Penyelidikan Independen sendiri untuk menanggapi "tuduhan palsu yang dibuat oleh badan-badan PBB dan komunitas internasional lainnya".

Militer Myanmar diketahui belum memberikan komentar. Namun, sejak November 2017 lalu, Tatmadaw (nama resmi Angkatan Bersenjata Myanmar) menolak telah melakukan kesalahan apapun terkait krisis kemanusiaan Rohingya di Rakhine.