Sukses

Bentrokan Maut Picu Ratusan Tahanan Kabur dari Penjara Libya

Sebanyak ratusan tahanan kabur dari penjara Libya, menyusul kekerasan maut antar milisi di ibukota negara itu.

Liputan6.com, Tripoli - Sekitar 400 orang tahanan dilaporkan kabur dari sebuah lembaga pemasyarakatan di dekat ibukota Libya, Tripoli, menyusul aksi kekerasan yang mematikan antara kelompok-kelompok milisi di kota itu.

"Para tahanan berhasil membuka pintu dengan paksa, untuk pergi meninggalkan penjara Ain Zara," kata polisi setempat.

Dikutip dari BBC pada Senin (3/9/2018), polisi menambahkan bahwa para penjaga kalah jumlah dalam menghadapi ratusan tahanan yang memaksa kabur, setelah sebelumnya terjadi kerusuhan besar di dalam penjara.

Bentrokan antar milisi di Tripoli telah menyebabkan pemerintah Libya --yang didukung PBB-- menyatakan kondisi darurat. Insiden pada Minggu 2 September itu terjadi pasca-kekerasan bersenjata antara faksi-faksi yang bersaing di sekitar lapas, yang hanya menampung tahanan laki-laki.

Banyak dari tahanan yang ditahan di penjara Ain Zara di Tripoli tenggara, diketahui mendukung bekas pemimpin Libya Muammar Khadafi, dan telah dinyatakan bersalah atas beberapa kasus pembunuhan selama pemberontakan massal pada 2011 silam.

Secara terpisah pada hari Minggu, dua orang tewas dan beberapa lainnya terluka ketika roket menghantam sebuah kamp di ibukota Libya, menyebabkan ratusan orang terlantar, menurut layanan darurat setempat.

Kementerian Kesehatan Libya melaporkan bahwa sekitar 47 orang, termasuk warga sipil, tewas dalam bentrokan milisi yang bersaing di Tripoli selama seminggu terakhir, dengan puluhan lainnya terluka.

Pemerintah yang didukung PBB berkuasa di ibukota, tetapi milisi menduduki sebagian besar wilayah lain di negara itu.

Kekerasan di Libya terjadi pekan lalu ketika milisi dari sebuah kota di pinggiran Tripoli menyerang wilayah selatan, yang mengarah ke pertempuran dengan milisi lokal yang mendukung pemerintah --dan diakui secara internasional-- Government of National Accord (GNA).

GNA telah menggambarkan bentrokan sebagai "upaya untuk menggagalkan transisi politik damai" di negara itu, menambahkan bahwa "tidak bisa tetap diam atas serangan di Tripoli dan sekitarnya, yang merupakan pelanggaran keamanan di ibukota dan warga negara Libya".

Human Rights Watch juga mengutuk kekerasan tersebut, menambahkan bahwa setidaknya 18 orang yang tewas dilaporkan warga sipil, di antaranya empat anak-anak.

Ratusan imigran yang terperangkap oleh pertempuran telah dipindahkan ke pusat-pusat detensi lainnya, sementara bandara kota itu ditutup selama dua hari sejak Jumat 31 Agustus.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Seruan Penghentian Kekerasan

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan "penggunaan kekuatan yang tidak pandang bulu merupakan pelanggaran hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional".

Oleh karenanya, ia mendesak semua pihak untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi mereka yang membutuhkan, termasuk di Libya.

Pada Sabtu 1 September, AS, Inggris, Prancis dan Italia menyerukan untuk segera mengakhiri kekerasan mematikan di ibukota Tripoli.

Pernyataan bersama mengatakan upaya "untuk melemahkan otoritas Libya yang sah dan menghambat proses politik yang sedang berlangsung, tidak dapat diterima".

"Kami menyerukan kepada kelompok-kelompok bersenjata untuk segera menghentikan semua aksi militer dan memperingatkan mereka yang berusaha merusak stabilitas, di Tripoli atau tempat lain di Libya, maka mereka akan bertanggung jawab untuk itu," kata pernyataan bersama terkait.

Namun upaya gencatan senjata berturut-turut sejauh ini gagal menghentikan pertempuran sengit antar beberapa milisi.