Sukses

AS Akan Tarik Mundur Pasukan Khususnya dari Operasi Militer Anti-Teroris di Afrika

AS mempertimbangkan akan menarik personel Pasukan Khusus AS dari Niger dan menghentikan hampir semua operasi kontra-teroris di Afrika.

Liputan6.com, Washington DC - Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) sedang mempertimbangkan akan menarik hampir semua personel Pasukan Khusus AS (US Special Forces) dari Niger dan menghentikan hampir semua operasi kontra-teroris di Afrika yang dilakukan oleh militer elite tersebut.

Para pejabat Pentagon mengatakan pada harian New York Times bahwa pos-pos militer Amerika di Kamerun, Kenya, Libya, dan Tunisia juga akan ditutup kalau Menteri Pertahanan Jim Mattis menyetujui rencana itu, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (4/9/2018).

Akan tetapi, kata laporan itu lagi, AS masih akan mempertahankan kehadiran militer yang besar di Nigeria dan Somalia.

Menurut New York Times, langkah itu adalah bagian dari pergeseran strategi AS dari melawan kelompok-kelompok pemberontak, dan akan memusatkan perhatian pada kemungkinan adanya pertempuran besar-besaran di negara tertentu.

Namun, peninjauan tugas-tugas itu terjadi setelah empat tentara AS tewas tahun lalu di Niger karena diserang militan. Pentagon mengatakan jatuhnya korban itu disebabkan kesalahan Pentagon.

Laporan New York Times itu mengatakan, ratusan tentara AS yang tersebar di Afrika akan diberi tugas-tugas baru, tapi Jenderal Thomas Waldhauser, kepala Komando Afrika AS (US Africa Command) mengatakan kepada harian yang sama bahwa Amerika tidak akan menghentikan usahanya melatih pasukan lokal dalam melakukan operasi kontra-teroris.

Sebagian pejabat pertahanan AS menentang rencana penutupan pos-pos militer di Afrika. Dia mengatakan tindakan itu bisa mengurangi pengaruh Amerika pada saat China dan Rusia sedang berusaha memperkuat kehadiran mereka.

Namun, seorang pejabat mengatakan pada New York Times bahwa negara-negara Afrika telah berhasil mengembangkan pasukan kontra-teroris yang tangguh dan banyak negara tidak membutuhkan kehadiran pasukan AS secara permanen.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

AS Akan Bangun Pangkalan Drone Militer Terbesar di Niger

Laporan bahwa AS akan menarik pasukan khususnya dari Niger muncul beberapa hari setelah Angkatan Udara Amerika Serikat menyatakan sedang mempersiapkan pembangunan sebuah pangkalan udara di Niger yang akan digunakan sebagai pangkalan drone militer mereka.

Drone-drone bersenjata tersebut akan menarget kelompok-kelompok militan dan organisasi terafiliasi ISIS di kawasan itu.

Kata pejabat militer kepada VOA, Angkatan Udara telah menghabiskan US$ 86,5 juta untuk pembangunan pangkalan udara itu, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Selasa, 28 Agustus 2018.

Jumlah keseluruhan ongkos konstruksi pangkalan itu akan mencapai US$ 98,5 juta, kata juru bicara Auburn Davis.

Davis menambahkan, pangkalan itu terletak di Kota Agadez, di Niger utara, dan merupakan pangkalan udara terbesar yang sedang dibangun angkatan udara Amerika Serikat.

Agadez adalah kota strategis di gurun Sahara yang bisa dicapai dengan mudah oleh kelompok militan dan penyelundup untuk bepergian dari dan ke Libya, Aljazair, Mali dan Chad.

Kira-kira 600 tentara Amerika Serikat akan ditempatkan di pangkalan itu, dan sejumlah drone militer yang kini dipangkalkan di Ibu Kota Niamey, nantinya akan dipindahkan ke pangkalan baru itu.

Angkatan Bersenjata Niger yang didukung oleh pasukan Barat dan Amerika Serikat tengah melaksanakan operasi militer sporadis melawan militan ekstremis di kawasan dan wilayah sekitarnya.

US Africa Command mengerahkan sekitar 800 personel (sebagian besar anggota US Special Forces) yang ditugaskan ke beberapa wilayah. Mereka bermarkas di Pangkalan AU Agadez, Niger, dan dikerahkan dalam kapasitas untuk melatih dan membantu pasukan keamanan setempat.

Personel AS juga ditugaskan untuk terlibat dalam operasi pengumpulan info intelijen, pengintaian, serta membantu pasukan Jerman dan Prancis --yang tengah melaksanakan operasi militer di Mali, Niger, Chad, dan beberapa negara tetangga.

Militan ekstremis kerap terkonsentrasi di kawasan Gurun Sahel, yang masuk dalam teritori sejumlah negara meliputi Niger, Chad, Senegal, Mali, Mauritania, Nigeria, Chad, Sudan, dan lainnya.

Selain AQIM (Al-Qaeda di Afrika Utara) dan militan pro-ISIS, kelompok bersenjata yang baru terbentuk, yakni Islamic State in the Greater Sahara juga kerap mengklaim sejumlah serangan yang terjadi di kawasan Gurun Sahel.

Geoff D Porter, kepala firma analis North Africa Risk Consulting menilai, meningkat dan meluasnya aktivitas militan ekstremis mungkin akan mendorong perubahan operasi militer koalisi Barat, yang semula terkonsentrasi di Libya, menjadi ke Senegal dan Chad ke selatan.