Liputan6.com, Toulouse - Menteri pertahanan Prancis menuduh satelit mata-mata Rusia melakukan manuver mendekat ke satelit gabungan Prancis-Italia tahun lalu dan mencoba untuk menyadap transmisi komunikasi.
"Ini disebut tindakan spionase," kata Florence Parly di pusat penelitian ruang angkasa Prancis di Toulouse, dengan menyebut satelit Rusia Luch-Olymp sebagai 'tersangka' utama, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (9/9/2018).
Advertisement
Baca Juga
Parly mengatakan Prancis masih memantau Luch-Olymp Rusia dengan saksama "dan kami mencatat bahwa satelit itu terus bergerak aktif dalam bulan-bulan berikutnya untuk mendekati target lainnya".
Menyusul aksi itu, pihak Prancis mengatakan segera melakukan pengamanan terhadap transmisi komunikasi Athena-Fidus --satelit besutan Prancis dan Italia yang berfungsi sebagai penyeranta komunikasi dan sarana pertukaran intelijen rahasia.
Athena-Fidus dibangun oleh Thales Alenia Space, sebuah perusahaan patungan Prancis-Italia.
Sementara itu, sebuah kelompok kerja Prancis sedang mengembangkan strategi baru untuk pertahanan ruang angkasa. Florence Parly mengatakan kekuatan besar sedang bereksperimen dengan teknologi ruang angkasa yang agresif, sehingga Prancis harus merespon.
Di sisi lain, satelit Luch-Olymp Rusia sempat dituding atas tuduhan aksi yang sama terhadap satelit Amerika Serikat Intelsat pada 2015, yang memicu respons dari Komando Antariksa Angkatan Udara AS untuk menegur langsung Moskow atas insiden tersebut.
Â
Simak video pilihan berikut:
AS Curiga Satelit Rusia Berkedok Sebagai Senjata
Di lain kabar, satelit Rusia yang diluncurkan ke orbit Bumi pada Oktober 2017 lalu dilaporkan "berperilaku aneh", kata seorang pejabat Amerika Serikat yang mencurigai bahwa satelit itu merupakan semacam senjata ruang angkasa.
Pihak Rusia membantah tudingan itu dan menegaskan bahwa benda tersebut hanyalah "satelit inspeksi angkasa luar" semata.
Yleem Poblete, Asisten Menteri untuk Biro Pengendalian, Verifikasi, dan Kepatuhan Senjata Kementerian Luar Negeri AS mengungkapkan tuduhan tersebut dalam sebuah konferensi tentang perlucutan senjata di Jenewa, Swiss pada 14 Agustus 2018.
Poblete menjelaskan, semula, pihak AS percaya kepada Rusia bahwa benda itu hanyalah "satelit inspeksi angkasa luar" semata. Akan tetapi, usai melakukan berbagai peninjauan, Washington mengklaim menemukan sejumlah hal mencurigakan dari satelit itu.
"Perilakunya di orbit tidak konsisten dengan fungsi sejati sebuah satelit inspeksi, seperti kemampuannya dalam kesadaran situasional ruang, termasuk yang lainnya. Kami prihatin dengan apa yang tampaknya perilaku yang sangat tidak normal oleh satelit inspeksi itu," kata Poblete seperti dikutip dari BBC, Jumat 17 Juli 2018.
"Kami tidak tahu pasti apa itu, dan tidak ada cara untuk memverifikasi itu," tambahnya.
"Tapi, niat Rusia sehubungan dengan satelit itu merupakan perkembangan yang sangat mengganggu. Terutama, ketika menilik pernyataan komandan Pasukan Antariksa Rusia yang menyoroti bahwa negaranya 'tengah mengasimilasi prototipe senjata baru ke unit militer antariksa' mereka, dan hal itu adalah 'tugas utama dari pasukan antariksa Rusia' saat ini," jelas Poblete.
Selain itu, Poblete mengatakan, "Kementerian Pertahanan Rusia telah berulang kali menegaskan selama dekade terakhir bahwa mereka tengah mengembangkan senjata anti-satelit."
"Sedangkan seorang pejabat Angkatan Udara Rusia mengatakan pada Februari 2017 bahwa 'Rusia tengah mengembangkan rudal baru dengan maksud untuk menghancurkan satelit'."
Di lain pihak, pejabat Rusia telah berulang kali membantah niat jahat dari eksistensi satelit mereka.
Alexander Deyneko, seorang diplomat senior Rusia di Jenewa, mengatakan bahwa laporan Poblete berisi "tuduhan tak berdasar dan fitnahan yang berdasarkan hanya semata pada kecurigaan, anggapan dan sebagainya."
Advertisement