Liputan6.com, Washington DC - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dikabarkan sempat mengadakan pertemuan dengan pejabat militer yang membelot dari Venezuela untuk membahas penggulingan Nicolas Maduro dari kursi kepresidenannya --surat kabar ternama AS The New York Times melaporkan pada Sabtu, 8 September 2018.
Salah satu perwira dilaporkan masuk dalam daftar penerima sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh AS.
Kendati demikian, para pejabat AS tersebut akhirnya menolak untuk membantu rencana kudeta, The New York Times melaporkan. Namun, kabar itu --yang membuktikan adanya pembentukan kubu di internal militer-- diprediksi akan semakin memperburuk kondisi politik di Venezuela dan mempercepat kondisi negara itu ke dalam kekacauan politik.
Advertisement
Kendati demikian pihak Gedung Putih "menolak untuk menjawab pertanyaan rinci tentang perundingan tersebut", the Times melaporkan, menambahkan bahwa AS mendukung "dialog dengan semua pihak Venezuela yang menunjukkan keinginan untuk demokrasi" untuk "membawa perubahan positif di Venezuela" yang telah banyak menderita di bawah Maduro", demikian menurut artikel yang juga dikutip dari The Guardian, Minggu (9/9/2018).
Baca Juga
Laporan the Times, yang mengutip wawancara dengan 11 pejabat AS dan mantan mantan komandan militer Venezuela yang berpartisipasi dalam pertemuan, kemungkinan akan semakin memperkuat klaim Maduro tentang keterlibatan AS dalam konspirasi melawannya.
Memanfaatkan Sikap Agresif Trump
Langkah para perwira militer Venezuela itu dikabarkan memanfaatkan sikap agresif Donald Trump yang secara terbuka telah mengancam intervensi militer di Venezuela. Pada Agustus 2017, dia berkata, "Kami memiliki banyak pilihan untuk Venezuela, termasuk kemungkinan opsi militer, jika perlu."
Sementara pada Juli 2018, dilaporkan bahwa pada saat itu Trump berulang kali menekan para penasihat kepresidenannya tentang kelayakan invasi dan membawa hal itu dalam diskusi dengan para pemimpin Amerika Selatan --yang justru mengkhawatirkan banyak pihak.
Meski komentar Trump dikecam oleh pemerintah Venezuela sebagai "langkah gila" dan dikritik oleh sekutu di wilayah tersebut, namun, menurut the Times, komplotan melihat ancaman sang presiden AS terhadap presiden Venezuela sebagai kesempatan untuk menjalin komunikasi dengan pemerintah AS, yang selama ini selalu ditolak oleh Obama.
"Itu adalah panglima tertinggi yang mengatakan ini sekarang," kata mantan komandan Venezuela itu kepada the Times, yang berbicara dalam kondisi anonimitas, karena takut akan pembalasan oleh pemerintah Venezuela.
Komandan itu masuk dalam daftar pejabat militer dan keamanan Venezuela yang dituduh oleh AS terlibat dalam "kejahatan serius, termasuk menyiksa para kritikus, memenjarakan ratusan tahanan politik, melukai ribuan warga sipil, memperdagangkan narkoba dan berkolaborasi dengan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia, atau Farc, yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat," the Times melaporkan.
Simak video pilihan berikut:
Nicolas Maduro Semakin Dilihat Sebagai Pemimpin Otoriter
Nicolas Maduro semakin dilihat sebagai pemimpin yang otoriter dari negara yang tidak stabil. Venezuela telah jatuh ke dalam keruntuhan ekonomi, menderita kekurangan pangan, hiperinflasi dan produksi minyak yang jatuh. Krisis telah memprovokasi eksodus pengungsi bersejarah yang mengancam akan membanjiri negara-negara tetangga.
Penjangkauan atas komentar Trump menyebabkan serangkaian pertemuan rahasia antara para pejabat AS dan komplotan Venezuela, the New York Times melaporkan, dan menyebut bahwa Venezuela mengatakan mereka mewakili "beberapa ratus anggota" dari angkatan bersenjata negara itu yang percaya sudah waktunya untuk menggulingkan Maduro.
Para petugas dilaporkan meminta agar AS menyediakan radio terenkripsi. The Times mengatakan para pejabat AS "tidak memberikan dukungan material, dan rencana itu terurai setelah tindakan keras baru-baru ini yang mengarah pada penangkapan lusinan komplotan".
Advertisement