Liputan6.com, Jakarta - Perilaku mengemudi saat dalam kondisi mabuk kerap mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari dulu hingga sekarang. Maka tak pelak, hampir di seluruh negara telah diberlakukan Undang-Undang yang menjerat hukum dalam kasus tersebut.
Namun tahukah Anda, kapan pertama kali aturan ini diberlakukan?
Menurut laman history.com yang dikutip Senin (10/9/2018), hukuman bagi pengemudi mabuk pertama kali diberlakukan di Inggris pada akhir Abad 19. Tepat pada 121 tahun silam, 10 September 1897.
Advertisement
Kala itu, sopir taksi di London bernama George Smith menjadi orang pertama yang ditangkap karena mabuk saat berkendaara.
Smith ditangkap aparat Kepolisian London setelah menabrak gedung perkantoran. Saat didatangi polisi, Smith teridentifikasi sedang dalam pengaruh minuman beralkohol. Pria itu pun kemudian mengaku bersalah dan dikenai denda 25 shillings atau sekitar 1 poundsterling.
Hukuman ini kemudian juga diterapkan di Amerika Serikat, tepatnya pada tahun 1910 di New York.
Untuk membantu polisi menentukan bahwa si pengemudi dalam kondisi mabuk atau tidak, Profesor Dr Rolla Harger yang ahli dalam bidang Biokimia dan Toksikologi, menciptakan dan mematenkan alat Drunkometer.
Drunkometer ini merupakan alat seperti balon, di mana orang akan bernafas ke arah perangkat tersebut, untuk ditentukan apakah orang tersebut mabuk atau tidak.
Dalam pengembangan lebih lanjut, Robert Borkenstein, mantan Kepala Polisi Negara Bagian Indiana yang juga Profesor tersebut menciptakan alat Breathalyzer, yang juga berfungsi untuk mengidentifikasi seorang mabuk atau tidak. Alat ini lebih akurat dan bahkan bisa memberikan informasi seberapa parah orang tersebut mabuk.
Adapun cara kerja Breathalyzer ini dengan cara orang meniup ke alat tersebut, kemudian akan diinformasikan proporsi uap alkohol dalam nafas yang dihembuskan, yang mencerminkan tingkat alkohol dalam darah.
Seiring dengan munculnya alat tersebut, tingkat kesadaran masyarakat atas bahaya mengemudi saat mabuk meningkat. Para anggota dewan dan polisi pun mulai memperketat hukuman dan undang-undang bagi si pengemudi mabuk.
Pada tahun 1980, seorang ibu bernama Candy Lightner mendirikan Mother Againts Drunk Driving (MADD) setelah putrinya yang berusia 13 tahun tewas karena ditabrak pengemudi mabuk, ketika sang buah hatinya sedang berjalan kaki, pulang dari karnaval sekolah. Sopir penabrak tersebut sebelumnya pernah menabrak lari korban lain. Ia pada akhirnya ditangkap.
Gerakan MAAD ini mendorong legislator untuk memperberat hukuman bagi pengemudi mabuk, dan juga mendorong regulator untuk memberlakukan batas minimal usia bagi pengemudi. Pada akhirnya saat itu ditetapkan batas minimal usia 21 tahun yang diperbolehkan menyetir mobil.
Namun demikian, aturan yang keras ini tak menjamin orang kapok untuk tidak mengemudi saat mabuk. Berdasarkan data tahun 2005, tercatat ada 16.885 kecelakaan terkait pengaruh alkohol dan hampir 1,4 juta orang ditangkap karena mengemudi di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan.
Sementara di Indonesia, hukum tegas juga diberlakukan untuk pengemudi mabuk. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan ("UU 22/2009") dinyatakan bahwa setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi (Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009).
Jika pengendara mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan, maka dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 750 ribu (Pasal 283 UU 22/2009). Akan tetapi, pada praktiknya perbuatan tersebut dapat dijerat juga dengan Pasal 311 UU 22/2009.
Kasus pengemudi mabuk yang sempat gempar di Indonesia yakni terjadi pada 22 Januari 2012 lalu. Seorang wanita bernama Afriyani Susanti, pengemudi mobil Xenia, menabrak pejalan kaki di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat dan menewaskan sembilan orang. Afriyani dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena terbukti mengemudi dalam keadaan mobil.
Sementara itu, pada tanggal yang sama tahun 2003 tercatat sebagai momen saat Anna Lindh, Menteri Luar Negeri Swedia ditusuk ketika tengah berbelanja dan akhirnya meninggal dunia sehari kemudian.
Lalu pada 10 September 1977, Guillotine terakhir kali digunakan sebagai alat hukuman mati saat Hamida Djandoubi dieksekusi di Marseille, Prancis.
Saksikan juga video berikut ini: