Sukses

17 Tahun Pasca-Serangan 9/11, Ini 5 Perubahan Baru Bagi Amerika Serikat

Untuk mengenang jasad mereka yang tewas, telah dibangun momumen 9/11. Dalam catatan resmi, ada sekitar tiga ribu orang yang meninggal.

Liputan6.com, New York - Selasa pagi, 11 September 2001 adalah salah satu hari terkelam dalam sejarah Amerika Serikat (9/11). Empat pesawat penumpang dibajak teroris untuk ditabrakkan ke sejumlah objek penting di AS.

Tiga di antaranya mengenai target: gedung kembar World Trade Center di Kota New York dan Pentagon, di Virginia. Satu pesawat lainnya yang disebut menyasar Washington, D.C., gagal. Total hampir 3.000 nyawa melayang akibat rangkaian serangan teroris yang dikenal dengan 9/11 tersebut

Kini, 17 tahun telah berlalu. Banyak hal penting dan perubahan yang terjadi di Amerika pasca-serangan 9/11. Berikut ini lima di antaranya yang dikutip dari VOA Indonesia, pada Selasa (11/9/2018):

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 6 halaman

1. Terjun ke Medan Perang

Pada 20 September 2001, Presiden George W. Bush memulai "War on Terror" (perang melawan teror).

"Warga Amerika tidak hanya akan menyaksikan satu perlawanan, tetapi rangkaian perlawanan yang tidak pernah kita lihat sebelumnya," kata Bush.

Perang pun digencarkan di Afghanistan untuk mencari Osama bin Laden, pimpinan al-Qaida yang disebut menjadi dalang serangan 11 September.

Anggaran raksasa pun dikeluarkan untuk menjalankan "perang" ini.

Pada tahun pertama "War on Terror", Kongres Amerika mengucurkan dana darurat untuk perang sebesar US$ 29,3 miliar atau sekitar Rp 430 triliun.

Langkah ini disusul dengan pengiriman tentara Amerika ke Irak pada 21 Maret 2003. Bush menyebut CIA memprediksi ada senjata pemusnah massal di negara tersebut.

Alhasil, anggaran yang dikucurkan untuk perang di Afghanistan dan Irak terus melonjak. Pada penghujung periode kedua Bush di Gedung Putih, program "War on Terror" telah menghabiskan US$ 1,164 triliun atau sekitar Rp 18 ribu triliun.

Sekitar 10 tahun setelah Peristiwa 11 September, di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama, Osama bin Laden yang diburu, bisa ditemukan Pasukan Khusus Angkatan Laut Amerika dalam sebuah operasi di Pakistan, dan terbunuh pada 2 Mei 2011.

Pada Desember 2014, Obama pun mengumumkan penghentian operasi militer di Afghanistan.

Namun, munculnya kelompok yang menyebut diri mereka ISIS di Irak dan Suriah, membuat "War on Terror" terus berlanjut.

Obama total mengucurkan US$ 807 miliar atau sekitar Rp 12 ribu triliun pada dua periode kepemimpinannya. Sementara, Trump telah menganggarkan US$ 156 miliar atau sekitar Rp 2.300 triliun untuk "War on Terror".

 

3 dari 6 halaman

2. Gedung Tertinggi dan Stasiun Subway Terbaru

Runtuhnya Menara Kembar World Trade Center (WTC) pada pagi 11 September 2001 bisa jadi adalah momen yang paling banyak diingat orang terkait Tragedi 11 September.

Sebanyak 2.606 orang di dalam dan sekitar kedua menara yang berdiri sejak 1973 itu, tewas, berikut total 157 penumpang di dua pesawat yang menabrak gedung-gedung yang pernah menjadi tertinggi di dunia, dengan ketinggian 417 meter itu.

Kini gedung baru bernama One World Trade Center telah berdiri dan resmi menjadi pengganti Menara Kembar, sejak 2013 lalu.

Dengan ketinggian 546 meter, gedung yang dirancang David Childs (orang dibalik desain gedung tertinggi di dunia, Burj Khalifa) ini menjadi gedung tertinggi di belahan bumi barat, dan gedung tertinggi keenam di dunia.

Selain itu, stasiun kereta bawah tanah (Subway) Cortlandt Street di Kota New York, yang tertimbun saat runtuhnya Menara Kembar WTC, telah selesai direnovasi dan kembali dibuka.

Jalur kereta yang menghubungkan warga dari bagian barat Pulau Manhattan ke WTC itu dibangun dengan anggaran $181 juta atau sekitar Rp2,7 triliun.

"(Stasiun) Cortlandt WTC ini bukan sekadar stasiun subway baru belaka. Ini adalah simbol bangkitnya warga New York, untuk memajukan dan mengembalikan area WTC seperti dulu," kata Kepala MTA (Otoritas Transportasi Metropolitan) NY, Joseph Lhota dalam sebuah pernyataan resmi tertulis.

4 dari 6 halaman

3. Keamanan Penerbangan Super Ketat

Serangan 11 September membuat Amerika Serikat membentuk sebuah departemen baru di pemerintahan, yaitu Department of Homeland Security (DHS) atau Departemen Keamanan Dalam Negeri.

Resmi berdiri pada 25 November 2002, DHS memiliki misi yang meliputi aktivitas anti-tetorisme, kemanan perbatasan, imigrasi dan pengamanan siber.

Di bawah DHS terdapat sejumlah lembaga, salah satunya adalah Transportation Security Administration (TSA), yang benar-benar mengubah dunia penerbangan Amerika.

Dengan adanya TSA, prosedur pemeriksaan penumpang dan barang di bandara menjadi lebih ketat.

Sebelum 11 September 2001, pengecekan penumpang hanya menggunakan detector logam yang didesain untuk mencegah pelaku kejahatan membawa pistol ke dalam pesawat.

Setelahnya, dengan TSA: penumpang harus membawa kartu identitas dengan nama yang sama dengan di tiket, saat pemeriksaan mayoritas calon penumpang harus melepas sepatu, alat elektronik harus dikeluarkan dari dalam tas, cairan lebih dari 100 ml dilarang masuk ke kabin pesawat, dan lain sebagainya.

Sementara saat terbang, pintu kokpit pesawat harus selalu dalam keadaan dikunci.

Pemberlakuan TSA ini juga membuat harga tiket pesawat naik. Pasalnya, maskapai yang ikut menanggung operasional TSA, membebankan sebagian biayanya kepada penumpang.

 

5 dari 6 halaman

4. Perbaikan Sistem Administrasi Kependudukan

Sebanyak total 19 teroris yang membajak empat pesawat pada Serangan 11 September 2001 adalah warga negara asing yang masuk ke Amerika secara legal, mayoritas menggunakan visa turis dengan batas waktu 6 bulan.

Namun, terungkap bahwa mereka bisa ikut sekolah penerbangan dan bisa ‘beraktivitas bebas’ menyiapkan aksinya, karena menggunakan sejumlah Surat Izin Mengemudi (SIM) dan kartu identitas.

“19 Teroris yang terlibat pada Serangan 11 September, total memiliki 63 SIM atau kartu identitas,” ungkap Direktur Laboratorium Keamanan Internet Carnegie Mellon, Robert Thibadeau, pada 2002 lalu.

Memperbaiki hal itu, Kongres Amerika pun pada tahun 2005 lalu mengesahkan Undang-undang Real ID Act.

Undang-undang ini memperketat persyaratan kepemilikan SIM dan kartu identitas negara bagian, yang dipergunakan sebagai “tanda pengenal federal” untuk bisa masuk ke pesawat, gedung federal dan pembangkit listrik tenaga nuklir.

Identitas yang dimutakhirkan ini diharapkan bisa menjamin bahwa si pemegang kartu identitas adalah pemilik sebenarnya.

Kartu ini menggunakan teknologi anti pemalsuan, misalnya menggunakan hologram yang disebut tidak bisa dipalsukan.

Hingga saat ini baru sekitar 28 Negara Bagian, di antaranya Texas, Ohio dan Florida yang telah penuh menerapkan Real ID.

Dan mulai Oktober 2020 mendatang, seluruh warga Amerika yang akan terbang secara lokal di negaranya, harus menyerahkan SIM atau kartu identitas yang sudah memenuhi kualifikasi Real ID ini, agar bisa masuk ke pesawat.

Jika tidak punya, warga Amerika bisa menggunakan paspor (jenis identitas yang dinilai aman dan sulit dipalsukan), meskipun untuk penerbangan lokal.

 

6 dari 6 halaman

5. Perkembangan Pesat Islam

Tidak ada data resmi dari pemerintah Amerika terkait jumlah pemeluk agama Islam, karena dalam sensus kependudukan, agama tidak boleh dipertanyakan.

Namun, berdasarkan hasil survei lembaga riset nonprofit yang berbasis di Washington, D.C., Pew Research Center, jumlah pemeluk Islam di Amerika disebut “terus meningkat” sejak peristiwa 11 September.

Jika pada 2007 jumlahnya mencapai 2,35 juta jiwa, di 2011 jumlah pemeluk Islam adalah 2,75 juta orang. Angka ini terus naik menjadi 3,45 juta orang pada 2017.

Lewat situs resmi Pew Research Center, peneliti Besheer Mohamed, mengakui bahwa jumlah pemeluk agama Islam memang hanya sekitar 1,1% dari total populasi Amerika. Jumlahnya juga lebih kecil dari pemeluk Yahudi, yaitu sekitar 2%.

“(Meski begitu), proyeksi kami, jumlah Muslim akan naik pesat dibandingkan populasi Yahudi. Tahun 2040 jumlah pemeluk Islam akan menggantikan Yahudi sebagai agama terbesar kedua yang paling banyak dipeluk setelah Kristen,” tutur Besheer.

Pew menjelaskan salah satu alasan meningkatnya jumlah orang muslim di Amerika, karena perempuan muslim cenderung punya lebih banyak anak dibandingkan yang bukan. Setiap perempuan muslim rata-rata punya 3,1 anak, dibandingkan 2,3 anak untuk perempuan yang beragama bukan Islam.

Peningkatan jumlah warga muslim ini sejalan dengan salah satu jurnal ilmiah yang dipublikasi International Journal of Environmental Science and Development.

Dalam jurnal berjudul “Muslim Population in the Americas: 1950 –2020” yang ditulis Houssain Kettani itu, jumlah pemeluk Islam di Amerika pada tahun 2000 disebut sekitar 5 juta jiwa, naik menjadi 7 juta pada 2010 dan diprediksi menyentuh angka 8 juta orang pada 2020.

Namun, proyeksi itu tentu dipertanyakan setelah pemerintahan Presiden Amerika Donald Trump, menerapkan larangan berkunjung ke Amerika dari sejumlah negara dengan penduduk mayoritas muslim: Suriah, Iran, Yaman dan Libia.

Apalagi berdasarkan riset Pew, jumlah kekerasan terhadap warga Muslim di Amerika terus meningkat, bahkan dibandingkan setelah Peristiwa 11 September.

Jika pada 2001 ada 93 laporan kekerasan terhadap warga Muslim, tahun 2016 jumlahnya naik menjadi 127 laporan.