Sukses

Kemlu RI: Pembebasan Baru 3 WNI Sandera Abu Sayyaf Tanpa Uang Tebusan

Kemlu RI menegaskan bahwa pihaknya tak menggunakan uang tebusan untuk membebaskan tiga WNI korban penyanderaan Abu Sayyaf.

Liputan6.com, Jakarta Tiga WNI yang menjadi sandera Kelompok Abu Sayyaf di Mindanao, Filipina selatan sejak Januari 2017, berhasil dibebaskan pada September ini, berkat upaya dari pemerintah Indonesia yang berkoordinasi ketat dengan pemerintah Filipina.

Hamdan Salim, Subandi Sattu dan Sudarlan Samansung, menjadi sandera Kelompok Abu Sayyaf selama kurang-lebih 20 bulan. Mereka tersandera saat bekerja sebagai nelayan di perairan Pulau Taganak, Provinsi Tawi-Tawi, Filipina selatan.

Kini, mereka telah kembali ke keluarga dengan kondisi fisik yang sehat, meski harus menanggung trauma psikologis akibat tragedi yang mereka alami.

"Wakil Menteri Luar Negeri RI sudah menyerahkan mereka secara resmi kepada pihak keluarga, pagi hari ini (19/9), di Kemlu RI," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI, Lalu Muhammad Iqbal, Rabu (19/9/2018).

Kementerian Luar Negeri RI menjelaskan, proses negosiasi pembebasan telah dilakukan sejak awal mula mencuatnya kasus penculikan dan penyanderaan ketiga WNI itu pada Januari 2017.

Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, lembaga Indonesia yang berpartisipasi dalam proses negosiasi dengan Abu Sayyaf adalah Kemlu RI, Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS), dan sejumlah kementerian serta otoritas keamanan dan intelijen terkait. Mereka berkoordinasi ketat dengan lembaga sepantar di Filipina.

Proses pembebasan berlangsung selama 20 bulan, suatu hal yang kemudian dikeluhkan oleh pihak keluarga salah satu korban.

"Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dengan memakan waktu 20 bulan itu sangat lama. Tapi pada akhirnya membuahkan hasil, di mana mereka bisa dipulangkan kepada kami," kata Rudi Wahyudin, pihak keluarga Subandi Sattu dalam konferensi pers di Kemlu RI, 19 September 2018.

Namun, Kementerian Luar Negeri RI berpendapat bahwa waktu yang sangat lama itu justru 'diperlukan', guna menjamin keselamatan para korban dan menghindari 'taruhan nyawa' dalam proses pembebasan dari Abu Sayyaf.

"Penanganan penyanderaan ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati, agar tidak terjadi korban jiwa," kata Duta Besar RI untuk Filipina, Sinyo Harry Sarundajang dalam konferensi pers di Kemlu RI, 19 September 2018.

 

Simak video pilihan berikut: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tidak Ada Uang Tebusan

Lebih lanjut, Dubes Harry juga membantah adanya penggunaan uang tebusan dalam proses negosiasi pembebasan itu.

"Tidak ada uang tebusan. Saya kira saya yang paling tahu soal itu karena saya yang menjemput mereka. Tidak ada yang seperti itu," kata Dubes Harry.

"Pemerintah Filipina pun tidak menerima laporan dari pihak penyandera apakah mereka membutuhkan uang, barang, atau tebusan tertentu," tambahnya.

Sebelumnya, muncul dugaan di berbagai media nasional bahwa pemerintah Indonesia menggunakan 'uang tebusan' dalam proses negosiasi pembebasan para WNI yang menjadi sandera oleh Kelompok Abu Sayyaf di Filipina selatan.

Dugaan itu muncul dikarenakan terjadinya peningkatan kasus penculikan dan penyanderaan yang dilakukan oleh Abu Sayyaf terhadap WNI pada 2016 dan 2017, serta yang baru-baru ini terjadi pada 11 September 2018 --di mana dua nelayan WNI asal Sulawesi Barat diculik di perairan Semporna, Sabah, Malaysia oleh kelompok yang diduga berasal dari Filipina selatan, sarang Abu Sayyaf.

Berbagai kasus penculikan dan penyanderaan terhadap WNI itu pun tampak mengindikasikan bahwa para pelaku melihat orang Indonesia yang bekerja sebagai nelayan atau pelaut di Malaysia atau Filipina, sebagai 'sasaran empuk' untuk diculik agar dapat menerima uang tebusan pembebasan.

Namun, dugaan itu dibantah oleh Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal.

"Kalau kita pakai uang tebusan, gak mungkin proses negosiasi pembebasan bisa berlangsung lama sampai belasan hingga puluhan bulan," kata Iqbal dalam konferensi pers di Kemlu RI, 19 September 2018.

"Lagi pula, bukan cuma WNI aja yang diculik. Ada orang Laos, orang Vietnam, dan warga asing lainnya. Hanya saja, media nasional cuma menyorot kasus penculikan warga Indonesia. Jadi, dugaan yang menyebut bahwa para pelaku melihat WNI sebagai sasaran tunggal itu keliru," tambahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.