Sukses

Mahkamah Kejahatan Internasional Mulai Penyelidikan Pengusiran Rohingya di Myanmar

Sekitar 700 ribu orang Rohingya, Myanmar diperkirakan telah melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus tahun 2017.

Liputan6.com, Rakhine - Kepala jaksa Mahkamah Kejahatan Internasional di Den Haag mengumumkan, bahwa ia akan menyelidiki dugaan deportasi paksa terhadap ratusan ribu muslim Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh.

"Pemeriksaan awal mungkin mempertimbangkan sejumlah dugaan tindakan keras yang memaksa orang-orang Rohingya pindah, termasuk perampasan hak-hak fundamental, pembunuhan, kekerasan seksual, penghilangan paksa, perusakan dan penjarahan," kata Fatou Bensouda dalam sebuah pernyataan tertulis.

Dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (20/9/2018) militer Myanmar telah dituduh melakukan genosida terhadap minoritas Rohingya di negara itu, membakar desa-desa dan melakukan tindakan pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan.

Sekitar 700 ribu orang Rohingya diperkirakan telah melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus tahun lalu.

Meskipun Myanmar bukan anggota ICC, Bensouda mengatakan mahkamah itu memiliki yurisdiksi karena kejahatan yang dituduhkan melibatkan Bangladesh, anggota ICC.

ICC adalah Mahkamah Kejahatan Internasional yang hanya turun tangan setelah pihak berwenang suatu negara tidak mau mengadili kejahatan yang dituduhkan.

Terkait kasus penyelidikan genosida Rohingya, pengadilan Myanmar menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara kepada dua jurnalis kantor berita Reuters karena kepemilikan ilegal atas dokumen-dokumen resmi pemerintah negara itu.

Wa Lone (32) dan Kyaw Soe Oo (28) telah mengaku tidak bersalah dan berpendapat bahwa mereka dijebak oleh polisi, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera.

Keduanya juga bersaksi bahwa mereka menerima perlakuan kasar selama interogasi awal dengan petugas. Beberapa permohonan mereka untuk dibebaskan dengan jaminan ditolak.

Awal tahun ini, pengadilan menolak untuk menghentikan persidangan pada tahap penyajian bukti awal. Padahal, seorang polisi yang dipanggil sebagai saksi untuk jaksa, menyebut bahwa komandannya memerintahkan agar dokumen itu disematkan pada kedua jurnalis Reuters tersebut.

Setelah kesaksiannya, petugas itu dipenjara selama setahun karena melanggar peraturan dan keluarganya diusir dari rumah tunjangan kepolisian.

Kesaksian lain yang diutarakan oleh saksi dari jaksa, juga bertentangan, dan dokumen yang disajikan sebagai bukti terhadap para wartawan tampaknya bukan rahasia atau sensitif. Para wartawan bersaksi bahwa mereka tidak meminta, atau secara sadar memiliki dokumen rahasia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Menarik Perhatian

Vonis itu datang di tengah kecaman internasional mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya.

Kasus kedua jurnalis Reuters tersebut juga telah menarik perhatian dunia internasional sebagai contoh bagaimana kebebasan pers terkekang di bawah pemerintahan de facto peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.

Suu Kyi mengambil alih kekuasaan pada tahun 2016, meningkatkan harapan untuk transisi cepat Myanmar dari kekuasaan junta militer menuju demokrasi penuh. Namun, ia telah mengecewakan banyak mantan pengagumnya.

"Apa yang terjadi hari ini mengancam merusak supremasi hukum dan kebebasan pers yang dituntut oleh demokrasi," kata Kevin Krolicki, editor regional Reuters kawasan Asia. Dia juga menyebut putusan itu "memilukan".

Kedua jurnalis Reuters itu melaksanakan peliputan tahun lalu tentang penumpasan brutal yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine.

Sekitar 700.000 orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh untuk menghindari kekerasan yang menargetkan mereka setelah serangan oleh Rohingya menewaskan belasan anggota pasukan keamanan.