Sukses

Jelang Pemilu, Taiwan Bersiap Menangkal Serangan Siber dari China

Pemerintah Taiwan tengah mempersiapkan diri untuk bersiaga menghadap ancaman serangan siber pada pemilihan umum November mendatang.

Liputan6.com, Taipei - Pemerintah Taiwan disebut tengah bersiap menghadapi kemungkinan serangan siber dari China Daratan, menjelang pemilihan lokal pada November mendatang.

Ancaman serangan dunia maya itu diduga kuat bertujuan untuk melemahkan calon presiden, yang menentang upaya Beijing dalam menarik kembali Taiwan ke dalam kendalinya.

Menurut beberapa pengamat, sebagaimana dikutip The Straits Times pada Kamis (20/9/2018), ancaman serangan siber diduga tidak hanya dilakukan seorang diri oleh China, melainkan dengan bantuan Rusia dan Korea Utara.

Masih menurut pengamat, Taiwan sengaja dipilih sebagai uji coba teknik peretasan siber terkini, sebelum kemudian digunakan untuk melawan Amerika Serikat (AS) dan kekuatan asing lainnya.

"Pengujian ini melibatkan perangkat malware baru, yang sebagian besar digunakan untuk menargetkan lembaga pemerintah, termasuk Kementerian Ekonomi dan Asing Taiwan," kata Direktur Jenderal pada Departemen Keamanan Siber Taiwan, Howard Jyan.

"Berdasarkan kecocokan pola, kecanggihan dan karakteristik lainnya, kemungkinan sebagian besar serangan siber berasal dari kelompok yang didukung oleh China," kata Jyan kepada Bloomberg News.

"Kami yakin jumlah serangan siber akan meningkat sebelum pemilu. Peretas dan organisasi terselubung akan mencoba untuk campur tangan," lanjutnya memperingatkan.

Sejak menjabat pada Mei 2016, Presiden Tsai Ing-wen dan Partai Progresif Demokratiknya menolak mengakui klaim pemerintah China kepada Taiwan.

Beijing menganggap negara pulau itu bagian dari wilayahnya, yang menunggu waktu untuk disatukan dengan bujukan, dan bahkan kekuatan jika perlu.

China diketahui telah melakukan upaya multi-cabang untuk menekan pemerintahan Presiden Tsai, yakni dengan cara mengurangi jumlah mitra diplomatiknya, meningkatkan latihan militer di Selat Taiwan, dan menekan maskapai asing dan hotel untuk merujuk negara pulau itu sebagai bagian dari China.

Upaya China tersebut juga memicu perjuangan yang semakin besar bagi Taiwan untuk mendekati pengaruh global AS, yang tetap mempertahankan hubungan informal, meski telah memindahkan kedutaan besarnya ke Beijing sejak empat dekade lalu.

"Untuk beberapa hal, Taiwan melawan China adalah serupa kisah David versus Goliath," kata Ben Read, kepala analisis spionase siber di firma keamanan FireEye.

Ditambahkan oleh Read, pemerintah Taiwan telah mengalami lebih dari 360 serangan siber di sepanjang 2017 lalu, yang kemungkinan merusak keamanan data sensitif dan rahasia.

Kini, otoritas Taiwan mengatakan bahwa server di Kementerian Sipil, Militer dan Penelitian menjadi target utama serangan siber China, termasuk sistem rumah sakit yang sempat hampir diretas untuk mencuri informasi kesehatan dan data pribadi lainnya.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

Korban Sabotase Informasi

Kantor berita resmi pemerintah China, Xinhua, melaporkan pada 16 September, bahwa Beijing menuntut Taipei untuk "menghentikan kegiatan infiltrasi dan sabotase terhadap daratan, guna menghindari kerusakan lebih lanjut terhadap hubungan kedua negara yang semakin rumit dan parah".

Taiwan bulan ini berencana untuk membuka program pelatihan keamanan siber untuk perusahaan dan organisasi non-pemerintah, dengan mengirim teknisi mereka melalui hibah beasiswa hingga 150 kursi setiap tahunnya.

Tahun lalu, Taipei menciptakan komando siber militer, dengan mengalokasikan lebih dari 1,6 miliar dolar Taiwan (setara Rp 772 miliar, dengan nilai kurs NT$ = Rp 482) dalam anggaran tahun depan.

Jumlah dana tersebut digunakan untuk melindungi situs web dan pusat data yang paling ditargetkan oleh peretas dari China Daratan, tulis laporan surat kabar Taipei Times.

Di lain pihak, Komisi Komunikasi Nasional mengatakan pada Selasa 18 September, bahwa media Taiwan dapat didenda hingga 2 juta dollar Taiwan (setara Rp 965 juta) jika ditemukan bukti menyebarluaskan konten yang tidak diverifikasi, yang merugikan kepentingan publik.

Langkah itu muncul setelah para pejabat menyalahkan berita palsu tentang penyelamatan korban Taiwan pasca-terjangan Topan Jebi.

Kabar yang diyakini berasal dari alamat protokol internet (IP address) di China Daratan itu mengklaim bahwa pejabat konsulat Tiongkok terpaksa menyelamatkan warga negara Taiwan yang terdampar di bandara Osaka, karena Taiwan gagal bertindak cepat.