Sukses

Sekjen PBB Desak Pemerintah Myanmar Ampuni 2 Jurnalis Reuters yang Dipenjara

Kedua wartawan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara pada 3 September atas tuduhan kepemilikan dokumen rahasia pemerintah Myanmar.

Liputan6.com, New York - Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, ia berharap pemerintah Myanmar akan secepat mungkin memberi ampun untuk dua wartawan kantor berita Reuters yang dipenjarakan atas tuduhan memiliki dokumen rahasia negara.

Dikutip dari laman VOA Indonesia, Sabtu (22/9/2018) dokumen tersebut terkait dengan tugas mereka melaporkan peristiwa pembantaian terhadap muslim Rohingya , kantor berita AP melaporkan.

Guterres mengatakan, "Tidak dapat diterima kalau ada wartawan Reuters yang dipenjarakan karena apa yang mereka lakukan."

Kedua wartawan, yakni Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara pada 3 September karena diduga memiliki dokumen rahasia itu.

Tadinya mereka melaporkan tentang kebrutalan militer Myanmar dalam operasi anti-pemberontak yang memaksa 700 ribu Rohingya mengungsi ke Bangladesh.

Guterres mengemukakan, Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) telah mengumumkan pada 18 September akan mulai melakukan penyelidikan awal terhadap tindakan Myanmar menggusur Rohingya ke Bangladesh. Bangladesh adalah anggota ICC, tetapi Myanmar tidak.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Demonstrasi Dukung 2 Jurnalis Reuters

Puluhan orang menggelar demonstrasi di pusat kota Yangon pada Minggu 16 September 2018, menuntut pembebasan dua jurnalis Reuters yang dipenjara oleh Myanmar, hanya karena melaksanakan pekerjaannya sebagai wartawan yang meliput krisis kemanusiaan Rohingya.

Pemenjaraan itu telah menjadi sebuah kemunduran bagi Myanmar yang tengah berproses menuju demokrasi, terutama dalam hal menyusutnya kebebasan berekspresi dan hak atas informasi publik.

Dua pekan lalu, Wa Lone (32) dan Kyaw Soe Oo (28) divonis tujuh tahun penjara berdasarkan undang-undang Official Secrets Act yang berlaku di Myanmar.

Vonis itu mengejutkan komunitas jurnalis yang baru lahir di negara itu karena menggemakan kembali kehidupan bermedia di bawah bekas junta, ketika pers sangat disensor dan wartawan secara rutin dipenjarakan.

Putusan itu juga memicu kecaman global terhadap pasukan Myanmar dan terhadap pemimpin sipil de facto Aung San Suu Kyi karena gagal mengambil sikap.

"Kami sangat marah. Kami kecewa dengan pemerintahan baru. Sayang sekali," kata aktivis Maung Saung Kha, 25, kepada AFP, seperti dikutip dari Channel News Asia.

"Kami mengutuk hukuman ... mereka harus dibebaskan."

"Citra negara telah dirugikan oleh keputusan pengadilan," pengunjuk rasa Thin Zar Shun Lei Yi menambahkan.

Di sisi lain, masyarakat umum justru bersikap apatis dalam responnya terhadap putusan itu.

Para wartawan akan mengajukan banding terhadap putusan tetapi prosesnya akan memakan waktu berbulan-bulan, jika tidak bertahun-tahun.

Sementara itu, salah satu opsi yang mungkin bisa membebaskan mereka adalah pengampunan dari Presiden Myanmar.