Liputan6.com, Beijing - Pemerintah Vatikan dan China sepakat menandatangani "perjanjian sementara" atas penunjukan uskup, sebuah terobosan pada masalah yang menghambat hubungan diplomatik kedua negara selama beberapa dekade terakhir.
Kesepakatan itu menyelesaikan salah satu poin utama dalam isus perpecahan komunitas Katolik Roma di China, di mana Vatikan setuju menerima tujuh uskup yang sebelumnya dipilih oleh Beijing tanpa persetujuan Paus.
Dikutip dari News.com.au pada Minggu (23/9/2018), pencapaian kesepakatan tersebut membutuhkan waktu hampir tujuh dekade setelah Takhta Suci Vatikan dan Beijing memutuskan hubungan bilateral.
Advertisement
Desakan lama Beijing untuk menyetujui penunjukan uskup di Tiongkok berseberangan dengan otoritas mutlak Paus di isu terkait.
Baca Juga
Dengan status ketujuh uskup China yang telah diakui, Vatikan mengatakan mereka kini bersekutu dengan Roma. Meski begitu, komunitas Katolik di Negeri Tirai Bambu masih terbagi antara umat yang menjadi anggota gereja resmi Tiongkok, dan mereka di gereja bawah tanah yang tetap setia kepada Paus.
"Paus Fransiskus berharap bahwa, dengan keputusan-keputusan ini, proses baru dapat dimulai yang akan memungkinkan luka-luka masa lalu terobati, yang mengarah ke persekutuan penuh dari semua umat Katolik Tiongkok," kata pernyataan Vatikan.
Beberapa umat dikabarkan menentang kesepakatan semacam itu, terutama Kardinal Joseph Zen dari Hong Kong, yang menyebutnya sebagai penjualan agama oleh Asosiasi Patriotik Katolik China, di tengah upaya keras untuk tetap setia ke Roma selama bertahun-tahun penganiayaan.
Di blognya, Kardinal Zen mengkritik kurangnya kejelasan dalam kesepakatan itu, termasuk tidak menyebutkan status beberapa uskup bawah tanah yang ditunjuk oleh Paus.
Menurutnya, hal itu sama saja dengan pemerintah China mengatakan kepada umat Katolik untuk "Menaati kami! Kami setuju dengan Paus Anda".
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Pro dan Kontra di China
Meskipun kesepakatan di atas dapat membantu membuka jalan bagi hubungan diplomatik formal kedua negara --serta kemungkinan perjalanan Paus ke China-- juga kemungkinan akan membuat marah umat Katolik yang berupaya mengadvokasi Vatikan untuk mempertahankan garis keras dalam membina 12 juta umat di Negeri Tirai Bambu.
Perjanjian itu ditandatangani di Beijing selama pertemuan antara Wakil Menteri Luar Negeri Wang Chao, dan wakil Vatikan untuk hubungan antar negara, Monsignor Antoine Camilleri.
Di Beijing, Kementerian Luar Negeri setempat mengatakan "China dan Vatikan akan terus mempertahankan komunikasi dan mendorong proses peningkatan hubungan antara kedua belah pihak."
Namun, bahkan ketika China menyatakan keinginan untuk hubungan yang lebih baik dengan Takhta Suci, perjanjian itu ditandatangani dengan latar belakang tindakan keras Beijing terhadap hak beragama.
Di bawah pemerintahan Presiden Xi Jinping, pemimpin paling kuat China sejak Mao Zedong, umat beragama mengklaim kebebasan mereka menyusut bahkan ketika negara itu mengalami kebangkitan nilai religi.
Sebagai contoh, minaret dan kubah masjid di tengah komunitas umat Islam di Uighur banyak yang dilucuti, dan diimbau menggantinya seseuai ketentuan Beijing.
Sementara itu di Tibet, anak-anak calon bhiksu dipindahkan dari kuil-kuil Budha ke berbagai sekolah pemerintah, dan dilarang melakukan kegiatan keagamaan selama libur musim panas.
Advertisement