Sukses

AS Desak Iran untuk Berkaca soal Penyebab Serangan Ahvaz

Amerika Serikat membantah keras tuduhan keterlibatan dalam serangan Ahvaz dan mendesak Iran berkaca untuk mengetahui penyebabnya.

Liputan6.com, New York - Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB, Nikki Haley, mendesak Iran untuk "berkaca" tentang penyebab serangan terhadap parade militer di Ahvaz, yang menewaskan 25 orang pada Sabtu 22 September 2018.

Dubes Haley menanggapi dengan kritik keras bahwa Presiden Rouhani tidak beralasan menuduh AS sebagai dalang di balik serangan tersebut. Ia juga mengatakan bahwa pemimpin konstitusional Iran itu telah "menindas rakyatnya untuk waktu yang lama".

"Dia (Hassan Rouhani) punya rakyat yang memprotes, tapi tutup mata, dan membiarkan setiap sen uang masuk ke Iran dialihkan ke militernya. Dia telah menindas rakyatnya untuk waktu yang lama, dan dia perlu melihat rumahnya sendiri untuk mencari tahu dari mana asalnya (serangan di Ahvaz)," tegas Dubes Haley sebagaimana dikutip dari BBC pada Senin (24/9/2018).

"Dia bisa menyalahkan kita semua, sesuai yang dia inginkan. Yang harus dia lakukan sekarang adalah berkaca," lanjutnya memperingatkan.

Dua kelompok terpisah mengklaim bahwa mereka melakukan penembakan, tetapi tidak memberikan bukti.

Seperti sempat dikabarkan sebelumnya, empat orang pria bersenjata menembaki pasukan Garda Revolusi Iran di Kota Ahvaz, barat daya Iran, pada hari Sabtu lalu, dan menewaskan 25 orang termasuk tentara dan warga sipil yang menonton pawai peringatan.

Salah satu korban adalah seorang gadis empat tahun.

Sebuah kelompok anti-pemerintah bernama Ahvaz National Resistance, yang didukung oleh kelompok ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan mematikan tersebut.

Sebuah video yang dirilis oleh kantor berita ISIS, Amaq, menunjukkan tiga pria dalam sebuah mobil yang tampak mengenakan seragam Korps Pengawal Revolusioner Islam (IRGC), mungkin dalam perjalanan mereka untuk melakukan penembakan di Ahvaz.

Para pria di video tersebut tidak mengidentifikasi diri sebagai anggota ISIS, tetapi berbicara tentang pentingnya jihad, tulis laproan BBC.

Di lain pihak, Presiden Rouhani mengatakan bahwa AS adalah "negara penindas", yang bersama dengan negara-negara sekutunya di kawasan Teluk, memungkinkan terjadinya serangan di Ahvaz.

Tetapi AS telah membantah tuduhan Iran, dan mengatakan pihaknya sangat mengutuk "serangan teroris" di Ahvaz.

Sementara salah seorang pejabat senior Uni Emirat Arab --yang termasuk dibenci Rouhani-- menyebut tudingan Negeri Persia sebagai "hal yang tidak berdasar".

Presiden Hassan Rouhani dijadwalkan akan bertemua dengan Donald Trump di Sidang Majelis Umum PBB, yang digelar pada pekan ini.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

Iran Sebut Ada Negara Boneka AS di Kawasan Teluk

Berbicara pada Minggu 23 September, sebelum terbang ke New York untuk menghadiri Sidang Majelis Umum PBB, Presiden Rouhani bersumpah bahwa Iran akan "tidak membiarkan kejahatan seperti di Ahvaz kembali terjadi".

"Sangat jelas bagi kami (siapa) yang melakukan kejahatan ini ... dan dengan siapa mereka terkait," katanya mengarahkan tudingan pada AS dan sekutunya.

Rouhani juga menuduh bahwa negara Teluk telah mendukung "kebutuhan finansial, persenjataan dan politik" para pelaku penyerangan di Ahvaz.

Dia menambahkan: "Negara-negara boneka kecil di wilayah tersebut (Teluk) didukung oleh AS, dan Amerika memprovokasi mereka, memberi mereka kemampuan (menyerang) yang diperlukan."

Meski begitu, Rouhani tidak menyebut secara pasti siapa saja "negara boneka" yang dituduhkannya, tapi oleh para pengamat, komentar tersebut diduga mengarah pada Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain.

Iran sebelumnya menuduh bahwa Arab Saudi mendukung aktivitas separatis di kalangan minoritas Arab di wilayah negaranya.

Kedua negara telah bersaing untuk dominasi politik dan agama di kawasan Teluk selama beberapa dekade, dan terlibat dalam sejumlah perang proksi di seluruh wilayah terkait, mendukung faksi-faksi yang bersaing di Yaman dan Suriah.

Pertikaian selama beberapa dekade di antara mereka diperparah oleh perbedaan aliran agam, di mana Iran sebagian besar merupakan penganut Muslim Syiah, sementara Arab Saudi melihat dirinya sebagai kekuatan Muslim Sunni terkemuka.