Liputan6.com, Jakarta - Kabar duka datang dari dunia sepak bola Indonesia. Haringga Sirila (23), seorang suporter Persija alias Jakmania, tewas mengenaskan setelah dikeroyok sejumlah oknum suporter Persib Bandung alias Bobotoh.
Korban meninggal dunia sebelum laga Persib Vs Persija berlangsung di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) pada Minggu, 23 September 2018 siang.
Belasan orang yang diduga mengeroyok Haringga kini telah ditangkap kepolisian untuk diproses hukum.
Advertisement
Kendati demikian, kasus nahas Haringga kembali menorehkan catatan hitam bagi dunia sepak bola Indonesia serta membuka lagi borok soal fanatisme suporter sepak bola Tanah Air.
Selain itu, berbagai pertanyaan muncul terkait apakah pemerintah, aparat keamanan dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) telah cukup melakukan pencegahan dan penindakan terkait kekerasan yang kerap menyelimuti dunia sepak bola dalam negeri.
Baca Juga
Berdasarkan data lembaga nirlaba Save Our Soccer (SOS), sebanyak 55 suporter sepak bola Indonesia tewas, mayoritas karena aksi kekerasan dan pengeroyokan, sejak 1995 sampai 2017.
Sementara jumlah kematian pendukung Persija dan Persib telah mencapai 7 orang sejak 2012 lalu.
Seperti dilansir VOA Indonesia (25/9/2018), berikut upaya 5 negara menindak dan mencegah berbagai kekerasan yang dilakukan suporter di dalam atau di luar stadion.
Â
Simak video pilihan berikut:
1. Italia
Presiden Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) mengancam membatalkan seluruh liga di negara itu, setelah rentetan kekerasan oleh suporter berlangsung pada Januari 2007.
Salah satunya ketika seorang ofisial klub amatir Sammartinese tewas ketika terjebak dalam perkelahian antara pendukung dan pemain bola, pada Sabtu 27 Januari 2007.
Kala mengancam akan membatalkan seluruh kompetisi, Presiden FIGC saat itu, Luca Pancalli, menyebut, "Kita dalam kondisi genting. Untuk memperbaiki citra sepak bola, saya siap mengambil langkah drastis."
Dan beberapa hari setelahnya, kematian karena aksi pendukung sepak bola Italia kembali terjadi.
Seorang polisi, Filippo Raciti, tewas saat bertugas melerai pertikaian antara dua pendukung klub Serie A, Catania dan Palermo, usai sebuah pertandingan pada Jumat, 2 Februari 2007.
Raciti disebut tewas karena ditusuk di bagian hatinya, dengan "benda tajam dari toilet."
Geram, Pancalli pun melaksanakan janjinya, membatalkan seluruh pertandingan, bahkan laga yang digelar oleh tim nasional Italia, selama sepekan.
Kematian Raciti yang diliput berbagai media dunia saat itu membangkitkan solidaritas dan dukungan terhadap keselamatan aparat keamanan.
Advertisement
2. Turki
Gerah karena pertikaian antar suporter, salah satu klub sepak bola Turki, Fenerbahce, menerapkan cara unik, yaitu melarang laki-laki menonton di stadion, dan hanya membolehkan penonton perempuan dan anak-anak.
Kantor Berita Anadolu melaporkan, saat laga antara Fenerbahce dan Manisaspor, di Istanbul, pada September 2011, Fenerbahce memberikan lebih 41.000 tiket gratis kepada penonton perempuan dan anak-anak.
"Ini akan saya ingat selamanya. Jarang sekali stadion dipenuhi perempuan dan anak-anak," kata kapten Fenerbahce waktu itu, Alex de Sousa, seperti dilaporkan Kantor Berita Anadolu.
Tidak hanya di Turki, pertandingan Liga Champion antara Manchester City dengan klub asal Rusia, CSKA Moscow, di Rusia, pada 21 Oktober 2014, berlangsung tanpa ditonton satu orang pun di stadion.
Pelarangan penonton ini merupakan sanksi setelah suporter CSKA Moskow melakukan tindakan kekerasan saat sebuah laga di Roma, Italia, beberapa hari sebelumnya.
Namun, pelarangan penonton ini mendapat kritik sejumlah pihak. Misalnya yang menyebut penonton akan mencari tempat lain untuk menyaksikan sepak bola, seperti bar atau restoran, yang kembali membuka peluang terjadinya pertikaian antara pendukung.
Apalagi tempat-tempat hiburan tersebut cenderung memiliki pengawalan yang lebih longgar.
3. Inggris
Sejak tahun 1970-an, Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA), mencegah potensi kekerasan yang terjadi di dalam stadion dengan memisahkan tempat duduk penonton dari kedua kubu.
Lewat pernyataan resminya, FA menyebut cara segragasi ini "telah secara signifikan mengurangi aksi kekerasan di dalam stadion."
Dalam mayoritas pertandingan, kebanyakan kursi tentunya diisi oleh penggemar dari tim tuan rumah. Penggemar klub tamu biasanya duduk di zona berbeda, yang cenderung bukan tempat duduk favorit.
Antara keduanya diberi pembatas dan kadang sejumlah petugas jaga non-polisi (steward).
Antara tahun 1970-an hingga 1990-an, sejumlah laga bahkan melarang pendukung bertemu di luar stadion: alur jalan masuk dan keluar dipisah.
Namun, sejak pertengahan tahun 2000-an, pengamanan sudah semakin rileks. Usai pertandingan, pendukung kedua tim bisa berjalan bersebelahan di luar stadion.
Advertisement
4. Rusia
Kekerasan oleh suporter sepak bola menjadi hal yang berkali-kali terjadi di Rusia sejak awal tahun 2000-an.
Spartak Moscow, Lokomotiv Moscow dan CSKA Moscow adalah klub yang pendukungnya kerap rusuh.
Rusia pun memiliki polisi anti-huru hara dengan perlengkapan komplet, yang kerap dipanggil para suporter sebagai "kosmonot", karena pakaian pelindung tebal dan helm yang mereka kenakan.
Polisi tersebut dilengkapi tameng, pentungan, dan gas air mata untuk menindak tegas pelaku, yang sering bersenjata.
Bahkan, tiga pekan jelang pembukaan Piala Dunia 2018, pemerintahan Presiden Vladimir Putin meluncurkan video yang memperlihatkan polisi menguji coba penggunaan pistol dan senapan mesin, untuk menakut-nakuti penggemar yang berniat rusuh. Lebih jauh lagi, hukuman terkait tindakan yang dilakukan suporter juga bisa dijatuhkan pada klub atau tim nasional yang didukungnya.
Pada 2016 lalu, Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) mendeportasi 50 suporter asal Rusia, dan menjatuhkan sanksi denda € 150.000 atau sekitar Rp 2,7 miliar kepada tim nasional Rusia, setelah melakukan kekerasan berantai dan terkoordinasi, saat penyelenggaraan Euro 2016 di Prancis.
5. Belgia
Program Pelatihan Suporter dimulai oleh klub asal Belgia, Standard Liege, pada akhir 1980an. Idenya mencegah terjadinya kekerasan oleh suporter dengan meredam gejalanya sejak dini.
Dalam program ini anak-anak muda ditanamkan nilai toleransi selama menonton bola.
Pengajaran dilakukan oleh sejumlah pemain bintang dan mantan perusuh, yang memberi tahu kepada anak muda bahwa kekerasan yang dilakukan berpotensi fatal, melukai, dan berujung dengan catatan kriminal yang membuat mereka sulit mendapat pekerjaan di kemudian hari.
Program yang kemudian ditiru oleh banyak negara ini pernah mendapatkan penghargaan UEFA-backed European Football Supporters Award pada 2011, atas upaya tidak kenal lelahnya dalam melawan kekerasan di dunia olahraga.
Advertisement