Liputan6.com, Kazakh - Perasaan Praskovya Mikhailovna Strekalova tak tenang melepas kepergian putra kebanggaannya ke angkasa luar. Padahal, itu bukan kali pertamanya, kosmonot Rusia, Gennadi Strekalov (43) terbang ke luar Bumi.
Pikiran buruk terbesit. Perempuan sepuh itu merasa perjalanan ketiga sang putra tak akan berakhir dengan baik. Mungkin, ia dihantui apa yang terjadi pada April 1983. Kala itu, insinyur penerbangan tersebut dan sejumlah kosmonot naik pesawat Soyuz T-8 dan gagal mencapai stasiun angkasa luar milik Rusia, Salyut 7 dan baru bisa kembali ke Bumi dua hari kemudian.
Advertisement
Baca Juga
Strekalova tak kuasa membayangkan buah hatinya duduk di atas ribuan kilogram propelan yang labil, melucur dengan cepat meninggalkan Bumi. Entah kenapa hatinya gundah.Â
Firasat sang ibu terbukti benar. Pada 26 September 1983, Gennadi Strekalov nyaris tewas dalam sebuah insiden yang mirip tragedi ledakan pesawat Challenger di Amerika Serikat.
Sudah jadi pengetahuan umum, peluncuran, terutama menit-menit terakhir sebelum roket meluncur adalah fase paling berbahaya. Namun, dengan mengantongi banyak pengalaman, para ilmuwan dan teknisi kala itu yakin, peluncuran Soyuz T-10 akan berjalan baik-baik saja.
"Jelang peluncuran ke-94 pesawat antariksa berawak ke orbit, hal itu tak diharapkan menjadi peristiwa luar biasa dalam sejarah angkasa luar," demikian dikutip dari buku Soyuz: A Universal Spacecraft karya Rex Hall dan Dave Shayler, seperti dikutip dari www.americaspace.com, Selasa (25/9/2018).
Tapi, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Malam itu, awak Soyuz T-10, Komandan Vladimir Titov dan Gennadi Strekalov naik ke dalam pesawat dan duduk di kursi yang di dalam modul.
Peluncuran dijadwalkan berlangsung pada 22.38 waktu Moskow di Kosmodrom Baikonur di Kazakhstan. Rencananya, setelah tiba di Salyut 7, kedua kosmonot akan tinggal sebulan bersama awak yang sudah duluan di stasiun antariksa itu, Vladmir Lyakhov dan Aleksandr Aleksandrov -- melakukan beberapa spacewalk, untuk memasang sejumlah panel surya tambahan. Mereka telah dilatih khusus untuk melakukannya.
Setelah Vladmir Lyakhov dan Aleksandr Aleksandrov kembali ke Bumi, Titov dan Strekalov kemudian akan tinggal di Salyut 7 selama tiga bulan hingga Desember 1983 atau awal Januari 1984.
Awalnya, semua berjalan lancar. Hingga dua menit sebelum peluncuran tanda-tanda masalah muncur. Temperatur di pad atau bantalan anjlok dari sekitar 27 derajat Celcius pada siang hari menjadi 10 derajat Celcius. Angin berembus dengan kecepatan 25 mil per jam.
Di dalam kapsul Soyuz, Titov dan Strekalov sedang mendengarkan musik yang disalurkan lewat sistem komunikasi. Semua persiapan telah dilakukan.
Kemudian, 90 menit sebelum lepas landas...
Â
Saksikan video terkait Rusia berikut ini:
Kebakaran Hebat
Katup bahan bakar kemudian gagal menutup dengan sempurna. Akibatnya, propelan mentah muncrat ke permukaan landasan peluncuran. Semenit kemudian kebakaran hebat terjadi.
Api menjalar dengan cepat, menjilati sisi-sisi roket yang sarat dengan propelan yang mudah meledak.
Di pusat peluncuran yang hanya beberapa kilometer jauhnya, Direktur Peluncuran Alexei Shumilin menyaksikan insiden itu dengan tatapan ngeri.
Sementara itu, dua kosmonot, Titov dan Strekalov awalnya tak menyadari apa yang terjadi. Kapsul di mana mereka berada tak memiliki jendela.
Namun, suara aneh yang datang dari arah roket meyakinkan Strekalov bahwa hal buruk sedang terjadi. Ia mengencangkan sabuk pengamannya dan meminta Titov melakukan hal yang sama.
Mereka bisa mendengar dengan jelas pembicaraan panik di ruang kendali lewat sistem komunikasi. Saat mengetahui kebakaran sedang terjadi, hanya ada sedikit waktu yang tersisa untuk kabur.
Kedua kosmonot tak bisa mengaktifkan sistem evakuasi manual yang mampu melontarkan modul Soyuz T-10 yang memungkinkan mereka terjun dengan aman dengan mengenakan parasut.
Satu-satunya cara adalah menggunakan perintah radio cadangan, yang mengharuskan sepasang pengendali, yang terletak di gedung berbeda yang berjarak 20 mil dari pad, menekan tombol masing-masing dalam waktu lima detik.
Sebelum melakukannya, para pengendali harus menerima kode secara independen dari Direktur Peluncuran Alexei Shumilin dan pemimpin teknis roket -- seseorang bernama Soldatenkov.
Saat semua langkah tersebut berhasil dilakukan, 10 detik telah berlalu, pendorong atau booster Titov dan Strekalov sudah terbakar dan nyaris meledak.
Dalam beberapa detik setelah perintah dari Shumilin dan Soldatenkov, pyrotechnics atau piroteknik ditembakkan dari mesin roket berbahan bakar padat, memicu 176.000 pon daya dorong, yang memisahkan Soyuz T-10 dan modul orbital jauh dari booster yang terbakar.
Beberapa lama kemudian, Titov masih teringat apa yang ia rasakan saat seluruh roket bergoyang hebat, disusul dua gelombang getaran ketika kapsul di mana ia berada terlontar.
Mereka yang ada di pusat kendali menyaksikan kepulan awan merah, kuning, dan hitam yang sangat besar di bagian atas booster, setelah sebuah objek ditembakkan ke atas dalam kecepatan tinggi.
Dalam hitungan detik, pesawat yang dinaiki Titov dan Strekalov mencapai kecepatan Mach 1, terbang nyaris vertikal ke ketinggian 3.000 kaki, dan menahan beban akselerasi puncak antara 14-17 G.
Hanya enam detik setelah kapsul itu dilontarkan, booster meledak dahsyat.
Setelah terbang, Soyuy T-10 yang dinaiki dua kosmonot mendarat dengan bantuan parasut ke sebuah stepa atau padang rumput di Kazakh.
Setengah jam setelah mendarat, tim pemulihan dan evakuasi mencapai kapsul. Permintaan pertama kosmonot adalah rokok. Mereka juga diberi segelas vodka yang membantu untuk menenangkan saraf mereka yang tak karuan.Â
Sementara itu, landasan peluncuran terus terbakar selama tak kurang dari 20 jam, sebelum akhirnya berhasil.Â
Setelah insiden itu, kedua kosmonot menganggap 26 September sebagai 'hari ulang tahun kedua mereka' -- tatkala lolus dari maut dan mendapat kesempatan kedua untuk hidup.
Tak hanya itu yang terjadi pada tanggal 26 September. Pada 1997, salah satu kecelakaan terburuk dalam sejarah penerbangan Indonesia terjadi. Garuda Indonesia Penerbangan GA 152 jatuh di kawasan pegunungan dekat Medan. Akibatnya 222 penumpang dan 12 awak pesawat tewas.
Berdasarkan hasil investigasi disimpulkan, insiden tersebut termasuk kecelakaan Controlled Flight Into Terrain (CFIT). Kondisi di mana pesawat laik terbang, tidak rusak, serta di bawah kendali pilot namun menabrak daratan.
Sementara, 26 September 1954, kapal feri Toya Maru karam. Perkeretaapian Nasional Jepang (Japanese National Railways) pada September 1955 mengumumkan bahwa korban tewas dalam kecelakaan tersebut adalah 1.153 orang.
Kendati demikian, jumlah pasti korban meninggal tidak diketahui karena pada saat-saat terakhir ada korban yang berhasil mendapatkan tiket namun, ada pula yang membatalkan keberangkatan mereka.
Advertisement